
Ekonomi AS Lesu Darah, Dolar Kalah Lawan Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2019 10:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun di pasar spot, rupiah malah bernasib sebaliknya.
Pada Rabu (4/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.218. Rupiah melemah tipis nyaris flat di 0,01%.
Akan tetapi, rupiah masih bisa meladeni dolar AS di perdagangan pasar spot. Pada pukul 10:09 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.209 di mana rupiah menguat 0,08%.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,18%. Selepas itu, apresiasi rupiah menipis dan dolar AS kembali menembus level Rp 14.200.
Rupiah bergerak searah dengan mata uang utama Asia yang cenderung menguat di hadapan greenback. Ringgit Malaysia menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, disusul oleh yuan China dan won Korea Selatan di peringkat ketiga.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Tidak hanya di Asia, dolar AS memang sedang melemah secara global. Pada pukul 10:13 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,09%.
Mata uang Negeri Paman Sam terimbas sentimen negatif dari rilis data ekonomi terbaru. Angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016.
Oleh karena itu, pelaku pasar meyakini bahwa ekonomi AS butuh 'suntikan adrenalin' karena kelesuan begitu terlihat nyata. Salah satunya adalah dari sisi moneter dengan penurunan suku bunga acuan.
The Federal Reserve/The Fed , Bank Sentral AS, akan menggelar rapat komite pengambil kebijakan pada 18 September waktu setempat. Dalam rapat itu, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat diperkirakan bakal menurunkan Federal Funds Rate.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% dalam rapat tersebut mencapai 92,7%. Kemungkinan yang sangat tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Apalagi prospek perekonomian AS ke depan tidak cerah, seiring perang dagang dengan China yang belum berkesudahan. Teranyar, Presiden AS Donald Trump menegaskan agar China jangan coba-coba menghambat negosiasi. Kalau dialog dagang sampai buntu, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengancam tidak akan ragu bertindak lebih keras kepada China.
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Gara-gara perang dagang dengan China, AS sudah merasakan pahitnya. Pertama, ekspor kedelai AS anjlok.
Pada musim tanam 2019-2020, ekspor kedelai AS diperkirakan 1,875 miliar bushel, mengutip proyeksi US Department of Agriculture. Angka ini turun 75 juta bushel dibandingkan musim sebelumnya.
Penurunan ini tidak lepas dari bea masuk yang dikenakan China untuk kedelai dari AS. Pasar China menjadi sulit ditembus sehingga kinerja ekspor kedelai amblas. Maklum, sekitar 60% ekspor kedelai AS ditujukan ke China.
Kedua, riset US Consumer Technology Association menyebutkan harga sejumlah produk elektronik naik karena perang dagang dengan China. Harga telepon seluler naik rata-rata US$ 70, laptop naik US$ 120, dan konsol video game naik US$ 56. Ini tentu membebani konsumen.
Ketiga, JPMorgan memperkirakan pengenaan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China akan membuat konsumen mesti menanggung kenaikan harga US$ 600 per tahun. Angka ini akan bertambah menjadi US$ 1.000 jika AS jadi mengenakan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar.
Dibayangi oleh hal-hal semacam itu, ekonomi AS memang butuh dorongan dari sisi moneter agar rumah tangga dan dunia usaha tetap bisa berekspansi. Penurunan suku bunga acuan adalah jawabannya.
Nah, penurunan suku bunga acuan menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, suku bunga yang lebih rendah akan ikut menurunkan imbalan berinvestasi di mata uang ini. Dolar AS pun rentan terserang tekanan jual, dan itu sepertinya terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (4/9/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.218. Rupiah melemah tipis nyaris flat di 0,01%.
Akan tetapi, rupiah masih bisa meladeni dolar AS di perdagangan pasar spot. Pada pukul 10:09 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.209 di mana rupiah menguat 0,08%.
Rupiah bergerak searah dengan mata uang utama Asia yang cenderung menguat di hadapan greenback. Ringgit Malaysia menjadi mata uang terbaik di Benua Kuning, disusul oleh yuan China dan won Korea Selatan di peringkat ketiga.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:11 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Tidak hanya di Asia, dolar AS memang sedang melemah secara global. Pada pukul 10:13 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,09%.
Mata uang Negeri Paman Sam terimbas sentimen negatif dari rilis data ekonomi terbaru. Angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016.
Oleh karena itu, pelaku pasar meyakini bahwa ekonomi AS butuh 'suntikan adrenalin' karena kelesuan begitu terlihat nyata. Salah satunya adalah dari sisi moneter dengan penurunan suku bunga acuan.
The Federal Reserve/The Fed , Bank Sentral AS, akan menggelar rapat komite pengambil kebijakan pada 18 September waktu setempat. Dalam rapat itu, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat diperkirakan bakal menurunkan Federal Funds Rate.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas pemangkasan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,75-2% dalam rapat tersebut mencapai 92,7%. Kemungkinan yang sangat tinggi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Apalagi prospek perekonomian AS ke depan tidak cerah, seiring perang dagang dengan China yang belum berkesudahan. Teranyar, Presiden AS Donald Trump menegaskan agar China jangan coba-coba menghambat negosiasi. Kalau dialog dagang sampai buntu, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengancam tidak akan ragu bertindak lebih keras kepada China.
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Gara-gara perang dagang dengan China, AS sudah merasakan pahitnya. Pertama, ekspor kedelai AS anjlok.
Pada musim tanam 2019-2020, ekspor kedelai AS diperkirakan 1,875 miliar bushel, mengutip proyeksi US Department of Agriculture. Angka ini turun 75 juta bushel dibandingkan musim sebelumnya.
Penurunan ini tidak lepas dari bea masuk yang dikenakan China untuk kedelai dari AS. Pasar China menjadi sulit ditembus sehingga kinerja ekspor kedelai amblas. Maklum, sekitar 60% ekspor kedelai AS ditujukan ke China.
Kedua, riset US Consumer Technology Association menyebutkan harga sejumlah produk elektronik naik karena perang dagang dengan China. Harga telepon seluler naik rata-rata US$ 70, laptop naik US$ 120, dan konsol video game naik US$ 56. Ini tentu membebani konsumen.
Ketiga, JPMorgan memperkirakan pengenaan bea masuk untuk importasi produk-produk made in China akan membuat konsumen mesti menanggung kenaikan harga US$ 600 per tahun. Angka ini akan bertambah menjadi US$ 1.000 jika AS jadi mengenakan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar.
Dibayangi oleh hal-hal semacam itu, ekonomi AS memang butuh dorongan dari sisi moneter agar rumah tangga dan dunia usaha tetap bisa berekspansi. Penurunan suku bunga acuan adalah jawabannya.
Nah, penurunan suku bunga acuan menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, suku bunga yang lebih rendah akan ikut menurunkan imbalan berinvestasi di mata uang ini. Dolar AS pun rentan terserang tekanan jual, dan itu sepertinya terjadi hari ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular