
AS-China Memanas, Investor Obligasi Diminta Wait & See
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
04 September 2019 09:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Pedagang (trader) dan investor pasar obligasi rupiah pada perdagangan Rabu ini (4/9/2019) disarankan melakukan aksi tunggu (wait and see) di tengah kembali memanasnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China dan data manufaktur Negeri Paman Sam yang menunjukkan kelesuan.
Maximilianus Nico Demus, Associate Director Research & Investment PT Pilarmas Investindo Sekuritas, dalam risetnya pagi ini (4/9/19) memandang kombinasi kedua hal tersebut dapat menciptakan kondisi pasar yang beragam pada seri surat utang negara (SUN).
"Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariasi dengan potensi pergerakan harga 25 - 55 basis poin [bps], melebihi harga tersebut, akan menjadi arah selanjutnya bagi pasar obligasi," ujar Nico dan tim dalam riset tersebut.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Kemarin, koreksi harga terjadi setelah lelang rutin yang digelar pemerintah yang juga bersamaan dengan langkah China yang mengadukan aksi AS kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Lelang kemarin pada surat berharga negara (SBN) dalam bentuk surat berharga syariah negara (SBSN/sukuk negara) yang relatif sepi, hanya mampu menghasilkan penerbitan Rp 7 triliun, hanya sesuai target dan di bawah rerata penerbitan efek serupa sejak awal tahun Rp 7,62 triliun.
Dalam aduannya, Beijing menyatakan kebijakan Washington telah mempengaruhi ekspor Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 300 miliar dalam perseteruan perang dagang kedua negara.
Kontraksi tersebut membawa angin negatif ke pasar negara berkembang seperti Indonesia, salah satunya ke pasar obligasi sehingga menekan harga sekaligus mengangkat tingkat imbal hasilnya (yield).
Kemarin, seri acuan yang paling melemah adalah FR0078 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 2,6 basis poin (bps) menjadi 7,35%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Selain seri FR0078, seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah SBN konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Maximilianus Nico Demus, Associate Director Research & Investment PT Pilarmas Investindo Sekuritas, dalam risetnya pagi ini (4/9/19) memandang kombinasi kedua hal tersebut dapat menciptakan kondisi pasar yang beragam pada seri surat utang negara (SUN).
"Pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka bervariasi dengan potensi pergerakan harga 25 - 55 basis poin [bps], melebihi harga tersebut, akan menjadi arah selanjutnya bagi pasar obligasi," ujar Nico dan tim dalam riset tersebut.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Kemarin, koreksi harga terjadi setelah lelang rutin yang digelar pemerintah yang juga bersamaan dengan langkah China yang mengadukan aksi AS kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Lelang kemarin pada surat berharga negara (SBN) dalam bentuk surat berharga syariah negara (SBSN/sukuk negara) yang relatif sepi, hanya mampu menghasilkan penerbitan Rp 7 triliun, hanya sesuai target dan di bawah rerata penerbitan efek serupa sejak awal tahun Rp 7,62 triliun.
Dalam aduannya, Beijing menyatakan kebijakan Washington telah mempengaruhi ekspor Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 300 miliar dalam perseteruan perang dagang kedua negara.
Kontraksi tersebut membawa angin negatif ke pasar negara berkembang seperti Indonesia, salah satunya ke pasar obligasi sehingga menekan harga sekaligus mengangkat tingkat imbal hasilnya (yield).
Kemarin, seri acuan yang paling melemah adalah FR0078 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 2,6 basis poin (bps) menjadi 7,35%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Selain seri FR0078, seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah SBN konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
TIM RISET CNBC INDONESIA
![]() |
(irv/tas) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Most Popular