
Saham APLN Meroket 31%, Benarkah Central Park & Sency Dijual?
Houtmand P Saragih & Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
03 September 2019 11:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham PT Agung Podomoro Tbk (APLN) melesat hingga 31% pada perdagangan siang ini, Selasa (3/9/2019). Beredar kabar di kalangan pelaku pasar, emiten properti ini akan menjual aset berupa mal yang dimiliki perseroan.
Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) harga saham APLN naik 30,85% ke level Rp 246/saham. Volume perdagangan mencapai 434,74 juta unit senilai Rp 97,77 miliar.
Di kalangan pelaku pasar beredar kabar APLN akan menjual Mal Central Park dan Senayan City (Sency), dua mal yang menjadi tempat tongkrongan anak muda Ibu Kota. Nilai penjualan Central Park bahkan dikabarkan mencapai Rp 4 triliun.
Kedua mal tersebut merupakan milik APLN dan rencana penjualan aset ini sebenarnya sudah terembus sejak perseroan mengalami kesulitan likuiditas. Kendati tanah di sana adalah milik pemerintah.
CNBC Indonesia mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada Direktur Keuangan APLN Cesar De La Crus, tapi dia menolak memberikan penjelasan.
"Maaf saya sedang rapat," jawabnya singkat kepada CNBC Indonesia, Selasa (03/09/2019).
Sementara itu Corporate Secretary APLN Justini Omas tak merespons pesan singkat dan panggilan telepon.
Sementara itu Direktur APLN Agung Wirajaya juga tak bersedia menjelaskan hal tersebut. "Saya tidak berkapasitas menjawab rumor tersebut," kata Agung.
Kesulitan likuiditas masih dialami Agung Podomoro Land dan membuat rating atau peringkat perusahaan diturunkan menjadi CCC- dari sebelumnya B- oleh Fitch Ratings.
Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencana perusahaan mencari pendanaan pada Mei 2019 yang akan digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp 1,17 triliun.
Berdasarkan laporan Fitch yang dirilis 17 Juli 2019, APLN dianggap gagal mengumpulkan dana yang cukup dari perbankan lokal untuk membiayai kembali Rp 1,3 triliun obligasi domestik perusahaan dan Rp 1,3 triliun utang sindikasi yang jatuh tempo antara Juni 2019 dan Januari 2020.
APLN awalnya berencana untuk mengumpulkan dana mencapai Rp 2,6 triliun, tapi akhirnya dana yang didapat hanya sebesar Rp 750 miliar.
Namun, melansir laporan Fitch, para kreditor memberi kelonggaran dengan memperpanjang tanggal jatuh tempo utang sindikasi menjadi 30 September 2019.
Akan tetapi, Fitch menganggap bahwa APLN akan tetap kesulitan memenuhi tenggat waktu tersebut mengingat arus kas operasi perusahaan masih mencatatkan rapor merah. Hingga akhir Juni 2019, arus kas operasi APLN tercatat minus Rp 880,23 miliar. Hal ini sudah menjadi indikasi rendahnya tingkat likuiditas perusahaan.
Penyebab arus kas operasi perusahaan membukukan rapor merah dikarenakan perusahaan masih belum mampu menghasilkan pemasukan yang cukup dari pre-sales untuk membayar biaya operasional, termasuk beban bunga serta modal kerja.
Pemasukan dari pre-sales APLN terbilang kurang memadai karena adanya proyek bangunan tinggi (high-rise) di luar Jabodetabek, di mana wilayah tersebut cenderung memiliki pre-sales yang rendah.
Fitch memproyeksi, arus kas operasi perusahaan akan tetap negatif setidaknya dalam dua tahun ke depan.
Dengan kondisi demikian, Fitch tidak dapat mempertahankan peringkat 'B' karena arus kas operasi perusahaan sulit pulih dalam jangka waktu dekat.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) pun ikut menurunkan peringkat APLN menjadi BBB dengan outlook credit watch dengan implikasi negatif. Penurunan ini disebabkan karena kondisi likuiditas perusahaan yang terbatas untuk melakukan pembiayaan kembali (refinancing) utang yang akan jatuh tempo 12 bulan ke depan.
(hps/tas) Next Article Rumor Jual Aset Mall, Saham APLN Melesat 32%
Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI) harga saham APLN naik 30,85% ke level Rp 246/saham. Volume perdagangan mencapai 434,74 juta unit senilai Rp 97,77 miliar.
Di kalangan pelaku pasar beredar kabar APLN akan menjual Mal Central Park dan Senayan City (Sency), dua mal yang menjadi tempat tongkrongan anak muda Ibu Kota. Nilai penjualan Central Park bahkan dikabarkan mencapai Rp 4 triliun.
Kedua mal tersebut merupakan milik APLN dan rencana penjualan aset ini sebenarnya sudah terembus sejak perseroan mengalami kesulitan likuiditas. Kendati tanah di sana adalah milik pemerintah.
CNBC Indonesia mencoba mengkonfirmasi hal ini kepada Direktur Keuangan APLN Cesar De La Crus, tapi dia menolak memberikan penjelasan.
"Maaf saya sedang rapat," jawabnya singkat kepada CNBC Indonesia, Selasa (03/09/2019).
Sementara itu Corporate Secretary APLN Justini Omas tak merespons pesan singkat dan panggilan telepon.
Sementara itu Direktur APLN Agung Wirajaya juga tak bersedia menjelaskan hal tersebut. "Saya tidak berkapasitas menjawab rumor tersebut," kata Agung.
Kesulitan likuiditas masih dialami Agung Podomoro Land dan membuat rating atau peringkat perusahaan diturunkan menjadi CCC- dari sebelumnya B- oleh Fitch Ratings.
Menurut Fitch, penurunan peringkat mencerminkan risiko refinancing dan risiko likuiditas yang meningkat, seiring dengan penundaan rencana perusahaan mencari pendanaan pada Mei 2019 yang akan digunakan untuk mendanai kembali obligasi domestik jangka pendek dan melunasi kredit sindikasi Rp 1,17 triliun.
Berdasarkan laporan Fitch yang dirilis 17 Juli 2019, APLN dianggap gagal mengumpulkan dana yang cukup dari perbankan lokal untuk membiayai kembali Rp 1,3 triliun obligasi domestik perusahaan dan Rp 1,3 triliun utang sindikasi yang jatuh tempo antara Juni 2019 dan Januari 2020.
APLN awalnya berencana untuk mengumpulkan dana mencapai Rp 2,6 triliun, tapi akhirnya dana yang didapat hanya sebesar Rp 750 miliar.
Namun, melansir laporan Fitch, para kreditor memberi kelonggaran dengan memperpanjang tanggal jatuh tempo utang sindikasi menjadi 30 September 2019.
Akan tetapi, Fitch menganggap bahwa APLN akan tetap kesulitan memenuhi tenggat waktu tersebut mengingat arus kas operasi perusahaan masih mencatatkan rapor merah. Hingga akhir Juni 2019, arus kas operasi APLN tercatat minus Rp 880,23 miliar. Hal ini sudah menjadi indikasi rendahnya tingkat likuiditas perusahaan.
Penyebab arus kas operasi perusahaan membukukan rapor merah dikarenakan perusahaan masih belum mampu menghasilkan pemasukan yang cukup dari pre-sales untuk membayar biaya operasional, termasuk beban bunga serta modal kerja.
Pemasukan dari pre-sales APLN terbilang kurang memadai karena adanya proyek bangunan tinggi (high-rise) di luar Jabodetabek, di mana wilayah tersebut cenderung memiliki pre-sales yang rendah.
Fitch memproyeksi, arus kas operasi perusahaan akan tetap negatif setidaknya dalam dua tahun ke depan.
Dengan kondisi demikian, Fitch tidak dapat mempertahankan peringkat 'B' karena arus kas operasi perusahaan sulit pulih dalam jangka waktu dekat.
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) pun ikut menurunkan peringkat APLN menjadi BBB dengan outlook credit watch dengan implikasi negatif. Penurunan ini disebabkan karena kondisi likuiditas perusahaan yang terbatas untuk melakukan pembiayaan kembali (refinancing) utang yang akan jatuh tempo 12 bulan ke depan.
(hps/tas) Next Article Rumor Jual Aset Mall, Saham APLN Melesat 32%
Most Popular