
Resesi Sudah Basi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 August 2019 14:57

Perlambatan ekonomi global adalah risiko yang nyata. Tidak ada negara yang bisa lolos dari terkaman perlambatan ekonomi. Bahkan bukan tidak mungkin perlambatan ekonomi berubah menjadi resesi.
Definisi resesi secara awam adalah ekonomi terkontraksi secara YoY dalam dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama. Sejauh ini, setidaknya tahun ini, sepertinya resesi belum akan kejadian.
Namun apabila ekonomi terus melambat, tidak ada perbaikan, ancaman resesi bakal sulit dihindari. Ancaman resesi datang Amerika Serikat (AS), perekonomian terbesar di dunia.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Reuters, probabilitas resesi di Negeri Paman Sam dalam 12 bulan ke depan adalah 30% dalam survei 1 Agustus. Naik dibandingkan saat survei 1 Juli yaitu 25%.
Gambaran lebih menakutkan adalah untuk jangka waktu 24 bulan. Dalam survei 1 Agustus, kemungkinan terjadinya resesi di AS mencapai 45%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 35%.
Kemungkinan resesi di Negeri Adidaya bukan pepesan kosong. Soalnya, seperti di negara lain, data-data ekonomi di AS juga memble.
Misalnya pada Juli, penjualan rumah baru turun 12,8% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 635.000 unit. Ini adalah penurunan bulanan paling drastis sejak Juli 2013.
Kemudian pembacaan awal angka Puchasing Managers' Indeks (PMI) manufaktur AS pada Agustus adalah 49,9, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,4%. Angka di bawah 50 menandakan dunia usaha tidak melakukan ekspansi. Ini adalah kali pertama dunia usaha di AS terkontraksi sejak September 2009.
Apalagi sinyal resesi masih ada yaitu inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor dua dan 10 tahun. Inversi berarti yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang, menandakan investor menilai risiko dalam waktu dekat lebih tinggi ketimbang masa mendatang.
Pada pukul 14:32 WIB, yield obligasi AS tenor dua tahun berada di 1,5244%. Lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun yaitu 1,5097%.
Inversi yield dua tenor ini sangat menjadi perhatian pasar. Pasalnya dalam lima resesi terakhir di AS, awalnya ditandai oleh situasi semacam ini.
Ketika AS resesi (amit-amit), maka seluruh dunia akan merasakan getahnya. Ya mau bagaimana lagi, AS adalah kekuataan ekonomi nomor satu dunia, sang lokomotif. Kalau lokomotifnya berhenti, bagaimana bisa gerbong-gerbong di belakangnya bergerak?
Well, saat ini isu ancaman resesi boleh sudah reda, tidak seperti beberapa pekan lalu. Akan tetapi, risiko ke arah sana masih ada.
Apalagi perang dagang AS-China masih belum jelas juntrungannya. Memang masih ada harapan AS-China kembali melakukan dialog dagang di Washington awal bulan depan. Namun melihat perkembangan selama ini, dialog dagang tidak menghentikan Presiden AS Donald Trump untuk terus 'menyikat' China sehingga jalan menuju perdamaian begitu terjal dan berliku.
Data-data ekonomi jelek. Yield obligasi AS lagi-lagi terinversi. Perang dagang AS-China entah kapan selesainya. 'Hantu' resesi masih mengintai dari dalam lemari dan siap bergentayangan kapan saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Definisi resesi secara awam adalah ekonomi terkontraksi secara YoY dalam dua kuartal berturut-turut pada tahun yang sama. Sejauh ini, setidaknya tahun ini, sepertinya resesi belum akan kejadian.
Namun apabila ekonomi terus melambat, tidak ada perbaikan, ancaman resesi bakal sulit dihindari. Ancaman resesi datang Amerika Serikat (AS), perekonomian terbesar di dunia.
Gambaran lebih menakutkan adalah untuk jangka waktu 24 bulan. Dalam survei 1 Agustus, kemungkinan terjadinya resesi di AS mencapai 45%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 35%.
Kemungkinan resesi di Negeri Adidaya bukan pepesan kosong. Soalnya, seperti di negara lain, data-data ekonomi di AS juga memble.
Misalnya pada Juli, penjualan rumah baru turun 12,8% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi 635.000 unit. Ini adalah penurunan bulanan paling drastis sejak Juli 2013.
Kemudian pembacaan awal angka Puchasing Managers' Indeks (PMI) manufaktur AS pada Agustus adalah 49,9, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,4%. Angka di bawah 50 menandakan dunia usaha tidak melakukan ekspansi. Ini adalah kali pertama dunia usaha di AS terkontraksi sejak September 2009.
Apalagi sinyal resesi masih ada yaitu inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor dua dan 10 tahun. Inversi berarti yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang yang jangka panjang, menandakan investor menilai risiko dalam waktu dekat lebih tinggi ketimbang masa mendatang.
Pada pukul 14:32 WIB, yield obligasi AS tenor dua tahun berada di 1,5244%. Lebih tinggi dibandingkan yang 10 tahun yaitu 1,5097%.
Inversi yield dua tenor ini sangat menjadi perhatian pasar. Pasalnya dalam lima resesi terakhir di AS, awalnya ditandai oleh situasi semacam ini.
Ketika AS resesi (amit-amit), maka seluruh dunia akan merasakan getahnya. Ya mau bagaimana lagi, AS adalah kekuataan ekonomi nomor satu dunia, sang lokomotif. Kalau lokomotifnya berhenti, bagaimana bisa gerbong-gerbong di belakangnya bergerak?
Well, saat ini isu ancaman resesi boleh sudah reda, tidak seperti beberapa pekan lalu. Akan tetapi, risiko ke arah sana masih ada.
Apalagi perang dagang AS-China masih belum jelas juntrungannya. Memang masih ada harapan AS-China kembali melakukan dialog dagang di Washington awal bulan depan. Namun melihat perkembangan selama ini, dialog dagang tidak menghentikan Presiden AS Donald Trump untuk terus 'menyikat' China sehingga jalan menuju perdamaian begitu terjal dan berliku.
Data-data ekonomi jelek. Yield obligasi AS lagi-lagi terinversi. Perang dagang AS-China entah kapan selesainya. 'Hantu' resesi masih mengintai dari dalam lemari dan siap bergentayangan kapan saja.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular