Tarik Nafas Dulu, IHSG Mau Ngebut Tapi Masih Ragu

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
27 August 2019 09:35
Tarik Nafas Dulu, IHSG Mau Ngebut Tapi Masih Ragu
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,48% ke level 6.244,57. Pada pukul 09:15 WIB, indeks saham acuan di Indonesia tersebut membukukan apresiasi sebesar 0,18% ke level 6.225,86.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang bergerak di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei melejit 1,3%, indeks Shanghai melesat 1,12%, indeks Straits Times naik 0,11%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,98%.

Kembali hadirnya asa damai dagang AS-China menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Berbicara di hadapan reporter di sela-sela pertemuan dengan para pimpinan negara-negara Group of Seven (G-7) di Prancis, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa kedua negara akan mulai berbincang dengan sangat serius.

"China menelepon delegasi tingkat tinggi kami di bidang perdagangan tadi malam dan mengatakan 'mari kembali ke meja perundingan' sehingga kami akan melakukannya dan saya rasa mereka ingin melakukan sesuatu. Mereka telah sangat tersakiti namun mereka sadar bahwa inilah langkah yang tepat untuk dilakukan dan saya memiliki rasa hormat yang besar untuk itu. Ini adalah perkembangan yang sangat positif untuk dunia," kata Trump, dilansir dari CNBC International.

Komentar dari Trump tersebut datang pasca sebelumnya Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin sudah mendinginkan suasana terlebih dahulu. Mnuchin memberi sinyal bahwa AS masih sangat terbuka untuk meneken kesepakatan dagang dengan China, asalkan kesepakatannya merupakan kesepakatan yang adil dan berimbang.

"Jika China setuju terhadap sebuah hubungan yang adil dan berimbang, kami akan menandatangani kesepakatan (dagang) itu dalam sekejap," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.

Sebelumnya, perang dagang kedua negara tereskalasi menjelang dan pada saat akhir pekan. Eskalasi pertama dari pengumuman China bahwa pihaknya akan membebankan bea masuk bagi produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Pembebanan bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif dalam dua waktu, yakni 1 September dan 15 Desember. Bea masuk yang dikenakan China berkisar antara 5%-10%.

Lebih lanjut, China juga mengumumkan pengenaan bea masuk senilai 25% terhadap mobil asal pabrikan AS, serta bea masuk sebesar 5% atas komponen mobil, berlaku efektif pada 15 Desember. Untuk diketahui, China sebelumnya telah berhenti membebankan bea masuk tersebut pada bulan April, sebelum kini kembali mengaktifkannya.

"Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan," tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.

Eskalasi berikutnya datang dari langkah AS yang merespons bea masuk balasan dari China dengan bea masuk versinya sendiri. Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.

Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.

"...Yang menyedihkan, pemerintahan-pemerintahan terdahulu telah membiarkan China lolos dari praktek perdagangan yang curang dan tidak berimbang, yang mana itu telah menjadi beban yang sangat berat yang harus ditanggung oleh masyarakat AS. Sebagai seorang Presiden, saya tak lagi bisa mengizinkan hal ini terjadi!...." cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Jika dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut bisa segera meneken kesepakatan dagang, tentu perekonomian global bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 Dari dalam negeri, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi oleh Bank Indonesia (BI) ikut berkontribusi dalam mendikte pergerakan pasar saham tanah air.

Pasca menggelar RDG selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (21/8/2019) dan berakhir hari Kamis (22/8/2019), BI memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps, menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama dua bulan beruntun.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).

Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Pemangkasan tingkat suku bunga acuan diharapkan akan menggairahkan perekonomian Indonesia yang saat ini sedang relatif lesu.

Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.

Jelas dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut guna merangsang laju perekonomian tanah air. Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular