
BI Sebut Indonesia Masih Seksi Bagi Investor, Apa Iya?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 August 2019 11:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar mengejutkan bagi pelaku pasar keuangan tanah air pada pekan ini datang dari Bank Indonesia (BI). Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai hari Rabu (21/8/2019) dan berakhir Kamis (22/8/2019), bank sentral memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate, menandai pemangkasan selama dua bulan beruntun.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).
Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).
Salah satu alasan utama dari BI dalam memangkas tingkat suku bunga acuan adalah imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik. Perry menjelaskan bahwa dirinya yakin pasar keuangan Indonesia masih seksi walaupun tingkat suku bunga acuan dipangkas. Saat ini, Perry mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga di Indonesia masih relatif tinggi, baik itu real policy rate maupun nominal interest rate.
Dengan imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik, BI tak khawatir bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan memicu aliran modal keluar (capital outflow), seiring dengan posisi Indonesia yang dianggap masih seksi.
Tapi, apa iya saat ini pasar keuangan Indonesia masih seksi?
Jika berbicara mengenai pasar saham, indikator yang sering digunakan oleh pelaku pasar untuk melihat valuasi dari sebuah saham ataupun indeks saham adalah Price-to-Earnings Ratio (P/E Ratio).
Untuk saham, P/E Ratio dihitung dengan membagi harga saham dengan laba per saham. Sementara untuk indeks saham, P/E Ratio dihitung dengan membagi nilai indeks saham dengan laba per saham.
Memang, ada berbagai faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya P/E Ratio sehingga tak bisa serta-merta dikatakan bahwa saham atau indeks saham dengan P/E Ratio yang lebih tinggi adalah lebih mahal ketimbang yang memiliki P/E Ratio lebih rendah, ataupun sebaliknya. Namun tetap saja, P/E Ratio merupakan indikator yang sangat lazim digunakan di pasar saham.
Dari 10 indeks saham utama di kawasan Asia yang kami kompilasi, terlihat bahwa valuasi (P/E Ratio) dari IHSG berada di tengah-tengah. Namun jika diamati lebih jauh, valuasi IHSG hanya cenderung lebih mahal ketimbang indeks saham dari negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Jika dibandingkan dengan indeks saham dari negara-negara berkembang seperti India, Filipina, dan Malaysia, valuasi IHSG adalah lebih murah.
Jadi kalau dibandingkan dengan indeks saham negara-negara berkembang lainnya di Asia, sejatinya IHSG bisa dibilang berada dalam posisi yang cukup murah, sehingga kata 'seksi' yang digunakan oleh BI menjadi bisa diaplikasikan di sini.
BERALIH KE HALAMAN 2 -> Pasar Obligasi Juga Masih Seksi Beralih ke pasar obligasi, ternyata pasar obligasi Indonesia juga masih seksi. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (23/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,24%. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan per Juli 2019 tercatat di level 3,32%. Ada selisih (spread) sebesar 392 basis poin (bps) antara yield dengan inflasi.
Sejatinya, spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2019, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 438 bps.
Tapi, jangan lupakan bahwa Indonesia telah diganjar kenaikan peringkat (rating) surat utang dalam beberapa waktu terakhir. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3. Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri tahun 2019, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, hal tersebut menjustifikasi menipisnya spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi.
Kedepannya, pasar obligasi Indonesia rasanya akan tetap menarik jika mengingat inflasi justru diproyeksikan melandai. Untuk tahun 2019, pemerintah menargetkan inflasi berada di level 3,1%. Untuk tahun depan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, inflasi dipatok di level 3,1%, atau sama dengan outlook untuk tahun ini.
BERALIH KE HALAMAN 3 -> Fundamental Rupiah Sedang Oke Terakhir, faktor lain yang membuat pasar keuangan Indonesia memang masih seksi adalah fundamental rupiah yang membaik dalam beberapa waktu terakhir.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kini, ada harapan bahwa CAD akan membaik di dua kuartal terakhir tahun 2019 dan performa rupiah bisa terdongkrak karenanya. Pada hari Kamis (15/8/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Juli 2019. Sepanjang Juli 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan, lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%. Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY. Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, jauh lebih baik dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Ingat, neraca barang merupakan salah satu komponen yang membentuk transaksi berjalan.
Pada Juli 2018, neraca barang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara defisit CAD pada kuartal III-2018 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Dengan defisit neraca barang pada Juli 2019 yang jauh lebih kecil dari ekspektasi, maka ada peluang yang besar bahwa CAD di kuartal III-2019 akan menyempit, yang pada akhirnya akan menyokong kinerja rupiah.
Kala kinerja rupiah oke, investor asing akan tertarik untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia lantaran mereka akan terhindarkan dari yang namanya kerugian kurs. Malahan, bisa jadi mereka akan mendapatkan keuntungan dari selisih kurs yang ada.
Tak salah jika BI menyebut bahwa pasar keuangan Indonesia masih seksi. Pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pada pekan lalu kami pandang sebagai langkah yang tepat yang mampu menyuntikkan optimisme bagi pelaku pasar keuangan dan pelaku dunia usaha di tengah kondisi perekonomian global yang sedang penuh ketidakpastian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article Resesi Hantui RI, Amankan Investasi di Instrumen Ini
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).
Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).
Salah satu alasan utama dari BI dalam memangkas tingkat suku bunga acuan adalah imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik. Perry menjelaskan bahwa dirinya yakin pasar keuangan Indonesia masih seksi walaupun tingkat suku bunga acuan dipangkas. Saat ini, Perry mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga di Indonesia masih relatif tinggi, baik itu real policy rate maupun nominal interest rate.
Dengan imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik, BI tak khawatir bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan memicu aliran modal keluar (capital outflow), seiring dengan posisi Indonesia yang dianggap masih seksi.
Tapi, apa iya saat ini pasar keuangan Indonesia masih seksi?
Jika berbicara mengenai pasar saham, indikator yang sering digunakan oleh pelaku pasar untuk melihat valuasi dari sebuah saham ataupun indeks saham adalah Price-to-Earnings Ratio (P/E Ratio).
Untuk saham, P/E Ratio dihitung dengan membagi harga saham dengan laba per saham. Sementara untuk indeks saham, P/E Ratio dihitung dengan membagi nilai indeks saham dengan laba per saham.
Memang, ada berbagai faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya P/E Ratio sehingga tak bisa serta-merta dikatakan bahwa saham atau indeks saham dengan P/E Ratio yang lebih tinggi adalah lebih mahal ketimbang yang memiliki P/E Ratio lebih rendah, ataupun sebaliknya. Namun tetap saja, P/E Ratio merupakan indikator yang sangat lazim digunakan di pasar saham.
Dari 10 indeks saham utama di kawasan Asia yang kami kompilasi, terlihat bahwa valuasi (P/E Ratio) dari IHSG berada di tengah-tengah. Namun jika diamati lebih jauh, valuasi IHSG hanya cenderung lebih mahal ketimbang indeks saham dari negara-negara maju seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Jika dibandingkan dengan indeks saham dari negara-negara berkembang seperti India, Filipina, dan Malaysia, valuasi IHSG adalah lebih murah.
Jadi kalau dibandingkan dengan indeks saham negara-negara berkembang lainnya di Asia, sejatinya IHSG bisa dibilang berada dalam posisi yang cukup murah, sehingga kata 'seksi' yang digunakan oleh BI menjadi bisa diaplikasikan di sini.
BERALIH KE HALAMAN 2 -> Pasar Obligasi Juga Masih Seksi Beralih ke pasar obligasi, ternyata pasar obligasi Indonesia juga masih seksi. Pada penutupan perdagangan hari Jumat (23/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi Indonesia tenor 10 tahun berada di level 7,24%. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan per Juli 2019 tercatat di level 3,32%. Ada selisih (spread) sebesar 392 basis poin (bps) antara yield dengan inflasi.
Sejatinya, spread tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai pada tahun-tahun sebelumnya. Jika dirata-rata dalam periode 2015-2019, spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi adalah sebesar 438 bps.
Tapi, jangan lupakan bahwa Indonesia telah diganjar kenaikan peringkat (rating) surat utang dalam beberapa waktu terakhir. Pada akhir 2017, lembaga pemeringkat kenamaan dunia Fitch Ratings menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB, menjadikan Indonesia setara dengan Filipina dan Portugal yang telah lebih dulu mendapatkan kenaikan peringkat ke BBB pada pertengahan Desember 2017.
Kemudian pada April 2018, Moody’s memutuskan untuk mengerek peringkat surat utang jangka panjang Indonesia sebanyak 1 tingkat ke level Baa2, dari yang sebelumnya Baa3. Dalam keterangannya tertulisnya, Moody's menyebut bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent serta ketahanan sektor finansial membuatnya pihaknya yakin bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup dalam menghadapi guncangan-guncangan yang mungkin terjadi.
Teranyar, menjelang libur panjang Idul Fitri tahun 2019, Standard and Poor's (S&P) ikut memutuskan untuk menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya.
Dalam laporannya, S&P menulis bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama. Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.
Terus membaiknya peringkat surat utang Indonesia merefleksikan menurunnya risiko yang ditanggung investor ketika memegangnya. Akibatnya, hal tersebut menjustifikasi menipisnya spread antara yield obligasi tenor 10 tahun dengan inflasi.
Kedepannya, pasar obligasi Indonesia rasanya akan tetap menarik jika mengingat inflasi justru diproyeksikan melandai. Untuk tahun 2019, pemerintah menargetkan inflasi berada di level 3,1%. Untuk tahun depan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, inflasi dipatok di level 3,1%, atau sama dengan outlook untuk tahun ini.
BERALIH KE HALAMAN 3 -> Fundamental Rupiah Sedang Oke Terakhir, faktor lain yang membuat pasar keuangan Indonesia memang masih seksi adalah fundamental rupiah yang membaik dalam beberapa waktu terakhir.
Pada kuartal I-2019, BI mencatat defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.
Untuk diketahui, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kini, ada harapan bahwa CAD akan membaik di dua kuartal terakhir tahun 2019 dan performa rupiah bisa terdongkrak karenanya. Pada hari Kamis (15/8/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Juli 2019. Sepanjang Juli 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan, lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%. Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY. Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, jauh lebih baik dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Ingat, neraca barang merupakan salah satu komponen yang membentuk transaksi berjalan.
Pada Juli 2018, neraca barang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara defisit CAD pada kuartal III-2018 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Dengan defisit neraca barang pada Juli 2019 yang jauh lebih kecil dari ekspektasi, maka ada peluang yang besar bahwa CAD di kuartal III-2019 akan menyempit, yang pada akhirnya akan menyokong kinerja rupiah.
Kala kinerja rupiah oke, investor asing akan tertarik untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia lantaran mereka akan terhindarkan dari yang namanya kerugian kurs. Malahan, bisa jadi mereka akan mendapatkan keuntungan dari selisih kurs yang ada.
Tak salah jika BI menyebut bahwa pasar keuangan Indonesia masih seksi. Pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pada pekan lalu kami pandang sebagai langkah yang tepat yang mampu menyuntikkan optimisme bagi pelaku pasar keuangan dan pelaku dunia usaha di tengah kondisi perekonomian global yang sedang penuh ketidakpastian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/gus) Next Article Resesi Hantui RI, Amankan Investasi di Instrumen Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular