
Emas: Sudah Aman, Paling Cuan Pula!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 August 2019 17:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Aset-aset investasi yang dianggap aman (safe haven) sedang bersinar bulan ini, seiring pasar finansial global yang dipenuhi ketidakpastian. Perang dagang, perang mata uang, dan ancaman resesi menjadi risiko besar yang menghantui pasar.
Pada awal Agustus lalu, Presiden Amerika Serikat (AS),Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan akan mengenakan bea masuk sebesar 10% untuk importasi produk-produk China senilai US$ 300 miliar yang berlaku mulai 1 September. Akibat dari gertakan Trump tersebut, China membalas dengan mendepresiasi nilai tukar yuan.
Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) mengejutkan pasar dengan mendevaluasi yuan hingga ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade terakhir pada 5 Agustus lalu. Akibat kebijakan tersebut, pelaku pasar dibuat cemas akan kemungkinan terjadinya currency war atau perang mata uang. Beberapa hari setelah depresiasi tersebut, AS melaporkan China ke Dana Moneter Internasional (IMF) dengan tuduhan manupulator kurs.
Kombinasi perang dagang dan perang mata uang dikhawatirkan akan membawa ekonomi AS ke dalam resesi. Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi di AS pada dekade 1930-an bisa terjadi lagi.
Hal itu diungkapkan oleh Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle. Kyle mengatakan kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930. Setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, perdagangan global hampir berhenti total," jelas Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Pelaku pasar benar-benar cemas akan potensi terjadinya resesi di AS. Hal tersebut terlihat dari terjadinya inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Inversi merupakan keadaan di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang. Dalam situasi normal, yield obligasi tenor pendek seharusnya lebih rendah.
Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.
Data dari Credit Suisse menunjukkan sejak 1978 terjadi lima kali inversi yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dan 10 tahun. Semuanya menjadi awal terjadinya resesi. Rata-rata resesi akan terjadi 22 bulan setelah inversi..
Kini, semua isu tersebut sudah mereda. AS menunda penerapan bea impor dari China, PBoC tidak lagi mendepresiasi kurs yuan secara signifikan, dan inversi sudah tidak terjadi lagi.
Namun aset-aset safe haven masih tetap menjadi primadona pelaku pasar mengingat semua isu tersebut bisa muncul kembali sewaktu-waktu. Intinya kondisi ekonomi dan pasar finansial global masih dipenuhi ketidakpastian yang membuat aset safe haven tetap bersinar.
Di dunia finansial, ada beberapa aset yang dianggap safe haven. Ada emas dari sektor komoditas, kemudian ada dari mata uang yakni dolar AS, yen Jepang, dan franc Swiss, ada juga dari obligasi pemerintah AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kondisi ekonomi dan pasar finansial global yang dipenuhi ketidakpastian tentunya membuat nilai dari aset-aset safe haven meningkat, pemegangnya sudah berpotensi cuan. Eskalasi ketidakpastian memang terjadi sejak awal Agustus, tetapi sebenarnya tanda-tandanya sudah muncul sejak awal tahun ketika perekonomian dunia menunjukkan pelambatan.
Sejak awal tahun ini, emas menjadi aset safe haven yang paling cuan. Harga emas dunia di pasar spot mencatat kenaikan lebih dari 15% sejak awal tahun hingga saat ini atau secara year-to-date (ytd) berdasarkan data dari Refinitiv.
Sementara itu, dolar AS sebagai mata uang yang dianggap safe haven kali ini kalah bersinar dibandingkan yen. Tercatat yen melawan dolar AS menguat hampir 2% ytd. Jika berhadapan dengan franc, dolar AS lebih unggul dengan mencatat kenaikan 0,53%.
Jika dilihat sepanjang bulan Agustus, emas juga masih menjadi aset safe haven paling bersinar. Logam mulia ini menguat hampir 6%, disusul yen 1,9%, dan franc kali ini mengungguli dolar sebesar 0,8%.
Memang jika dibandingkan dengan mata uang, emas yang merupakan aset yang jumlahnya terbatas di dunia ini tentunya lebih unggul. Selain dianggap sebagai safe haven, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi.
Selain itu kurs mata uang walaupun itu safe haven tentunya dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral masing-masing. Jika bank sentral melonggarkan kebijakan moneter baik itu dengan pemangkasan suku bunga maupun dengan kebijakan tidak biasa (unconventional) maka mata uangnya akan melemah.
Hal sebaliknya terjadi di emas, jika banyak bank sentral melonggarkan kebijakan moneter, maka harga emas cenderung menguat. Hal ini terjadi akibat potensi terjadinya kenaikan inflasi, dan investor untuk melindungi kekayaannya memilih berinvestasi di emas. Jadi, dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, emas adalah juaranya.
Satu lagi aset yang dianggap safe haven adalah obligasi pemerintah AS. Namun investasi obligasi tentunya berbeda dengan berinvestasi di komoditas dan mata uang. Berinvestasi di obligasi memberikan return yang tetap. Memang yield obligasi bergerak dinamis, tetapi pergerakan itu tidak mencerminkan berada imbal hasil yang diperoleh jika berinvestasi di obligasi sejak awal.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun yang jadi acuan misalnya, pada 2 Januari 2019 berada di 2,661%. Jika membeli obligasi saat itu, maka cuan yang didapat sebesar 2,661% per tahun. Sementara pada hari ini, yield Treasury tenor 10 tahun berada di level 1,6657%, lebih rendah dibandingkan posisi awal tahun.
Melihat yield tersebut, investasi di emas sejak awal tahun jelas menghasilkan cuan lebih besar dibandingkan obligasi. Sekali lagi, emas adalah juaranya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Kenapa Harga Emas Dunia & Antam Pekan Ini Tak Kompak?
Pada awal Agustus lalu, Presiden Amerika Serikat (AS),Donald Trump secara tiba-tiba mengumumkan akan mengenakan bea masuk sebesar 10% untuk importasi produk-produk China senilai US$ 300 miliar yang berlaku mulai 1 September. Akibat dari gertakan Trump tersebut, China membalas dengan mendepresiasi nilai tukar yuan.
Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) mengejutkan pasar dengan mendevaluasi yuan hingga ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade terakhir pada 5 Agustus lalu. Akibat kebijakan tersebut, pelaku pasar dibuat cemas akan kemungkinan terjadinya currency war atau perang mata uang. Beberapa hari setelah depresiasi tersebut, AS melaporkan China ke Dana Moneter Internasional (IMF) dengan tuduhan manupulator kurs.
Hal itu diungkapkan oleh Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle. Kyle mengatakan kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930. Setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, perdagangan global hampir berhenti total," jelas Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Pelaku pasar benar-benar cemas akan potensi terjadinya resesi di AS. Hal tersebut terlihat dari terjadinya inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Inversi merupakan keadaan di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang. Dalam situasi normal, yield obligasi tenor pendek seharusnya lebih rendah.
Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.
Data dari Credit Suisse menunjukkan sejak 1978 terjadi lima kali inversi yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dan 10 tahun. Semuanya menjadi awal terjadinya resesi. Rata-rata resesi akan terjadi 22 bulan setelah inversi..
Kini, semua isu tersebut sudah mereda. AS menunda penerapan bea impor dari China, PBoC tidak lagi mendepresiasi kurs yuan secara signifikan, dan inversi sudah tidak terjadi lagi.
Namun aset-aset safe haven masih tetap menjadi primadona pelaku pasar mengingat semua isu tersebut bisa muncul kembali sewaktu-waktu. Intinya kondisi ekonomi dan pasar finansial global masih dipenuhi ketidakpastian yang membuat aset safe haven tetap bersinar.
Di dunia finansial, ada beberapa aset yang dianggap safe haven. Ada emas dari sektor komoditas, kemudian ada dari mata uang yakni dolar AS, yen Jepang, dan franc Swiss, ada juga dari obligasi pemerintah AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kondisi ekonomi dan pasar finansial global yang dipenuhi ketidakpastian tentunya membuat nilai dari aset-aset safe haven meningkat, pemegangnya sudah berpotensi cuan. Eskalasi ketidakpastian memang terjadi sejak awal Agustus, tetapi sebenarnya tanda-tandanya sudah muncul sejak awal tahun ketika perekonomian dunia menunjukkan pelambatan.
Sejak awal tahun ini, emas menjadi aset safe haven yang paling cuan. Harga emas dunia di pasar spot mencatat kenaikan lebih dari 15% sejak awal tahun hingga saat ini atau secara year-to-date (ytd) berdasarkan data dari Refinitiv.
Sementara itu, dolar AS sebagai mata uang yang dianggap safe haven kali ini kalah bersinar dibandingkan yen. Tercatat yen melawan dolar AS menguat hampir 2% ytd. Jika berhadapan dengan franc, dolar AS lebih unggul dengan mencatat kenaikan 0,53%.
Jika dilihat sepanjang bulan Agustus, emas juga masih menjadi aset safe haven paling bersinar. Logam mulia ini menguat hampir 6%, disusul yen 1,9%, dan franc kali ini mengungguli dolar sebesar 0,8%.
Memang jika dibandingkan dengan mata uang, emas yang merupakan aset yang jumlahnya terbatas di dunia ini tentunya lebih unggul. Selain dianggap sebagai safe haven, emas juga merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi.
Selain itu kurs mata uang walaupun itu safe haven tentunya dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral masing-masing. Jika bank sentral melonggarkan kebijakan moneter baik itu dengan pemangkasan suku bunga maupun dengan kebijakan tidak biasa (unconventional) maka mata uangnya akan melemah.
Hal sebaliknya terjadi di emas, jika banyak bank sentral melonggarkan kebijakan moneter, maka harga emas cenderung menguat. Hal ini terjadi akibat potensi terjadinya kenaikan inflasi, dan investor untuk melindungi kekayaannya memilih berinvestasi di emas. Jadi, dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, emas adalah juaranya.
Satu lagi aset yang dianggap safe haven adalah obligasi pemerintah AS. Namun investasi obligasi tentunya berbeda dengan berinvestasi di komoditas dan mata uang. Berinvestasi di obligasi memberikan return yang tetap. Memang yield obligasi bergerak dinamis, tetapi pergerakan itu tidak mencerminkan berada imbal hasil yang diperoleh jika berinvestasi di obligasi sejak awal.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun yang jadi acuan misalnya, pada 2 Januari 2019 berada di 2,661%. Jika membeli obligasi saat itu, maka cuan yang didapat sebesar 2,661% per tahun. Sementara pada hari ini, yield Treasury tenor 10 tahun berada di level 1,6657%, lebih rendah dibandingkan posisi awal tahun.
Melihat yield tersebut, investasi di emas sejak awal tahun jelas menghasilkan cuan lebih besar dibandingkan obligasi. Sekali lagi, emas adalah juaranya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Kenapa Harga Emas Dunia & Antam Pekan Ini Tak Kompak?
Most Popular