Kalau RI Resesi (Amit-amit), Emas Layak Nggak Jadi Investasi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 August 2020 11:00
Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia terancam mengalami resesi di kuartal III-2020. Ini setelah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di kuartal II lalu berkontraksi alias tumbuh negatif secara tahunan (year-on-year/YoY).

Jika di kuartal III nanti PDB masih tumbuh negatif, maka Indonesia sah mengalami resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu menyatakan risiko resesi tersebut masih ada setelah kontraksi PDB di kuartal II-2020 cukup dalam, -5,32% YoY.

"Memang probabilitas negatif (di kuartal III) masih ada karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," kata Sri Mulyani melalui konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).

Kala resesi melanda, harga emas sudah pasti menjadi salah satu investasi favorit. Ini sudah jelas karena emas menyandang status aset aman (safe haven). Dengan status tersebut, resesi yang sudah terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), justru menjadi berkah bagi logam mulia. Harga emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada Jumat lalu.

Namun, ketika misalnya Indonesia mengalami resesi, apakah emas menjadi pilihan investasi yang tepat? Berikut penjelasannya.

Harga emas dunia menjadi salah satu faktor yang menentukan harga emas batangan di dalam negeri. Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk atau yang biasa dikenal dengan emas Antam misalnya, juga mencetak rekor termahal di pekan ini.

Berdasarkan data dari situs logammulia.com, harga emas batangan dengan berat 1 gram mencetak rekor termahal Rp 1.065.000/batang yang dicatat pada Jumat lalu. Dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Rp 771.000/batang, harga emas Antam sudah meroket 38,13%, cuan jumbo tentunya bagi yang sudah berinvestasi emas sejak akhir tahun lalu.

Harga emas batangan 100 gram yang menjadi acuan dihargai Rp 100.712.000/batang atau Rp 1.007.120/gram. Ini merupakan kali pertama emas batangan 100 gram ini harganya menembus Rp 1 juta/gram.

Banyak analis memprediksi harga emas dunia masih akan meroket tajam, sehingga harga emas batangan di dalam negeri juga berpotensi mengekor. Barry Dawes, dari Martin Place Securities, dalam dua tahun ke depan harga emas disebut akan mencapai US$ 3.500/troy ons.

Sementara itu Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi emas akan mencetak rekor tertinggi pada tahun depan, dan jangka panjang emas akan mencapai US$ 4.000/troy ons.

Analis lainnya, Jurge Kiener dari Swiss Asia Capital bahkan lebih bullish lagi. Secara teknikal ia melihat ada peluang emas mencapai US$ 8.000/troy ons. Sementara Dan Olivier, pendiri Myrmikan Capital, yang memprediksi emas akan mencapai US$ 10.000/troy ons. 

Prediksi harga emas ekstrim tersebut, mulai dari US$ 4.000 hingga US$ 10.000/troy ons tersebut untuk jangka panjang, artinya dalam beberapa tahun ke depan.

Tetapi jangan buru-buru happy melihat prediksi tersebut, harga emas dunia juga berisiko "jatuh dari langit".

Hal itu bisa terjadi ketika perekonomian AS membaik. Data tenaga kerja yang dirilis Jumat lalu menjadi sinyal awal kebangkitan ekonomi Negeri Paman Sam, tentunya jika tren pemulihan pasar tenaga kerja bisa terus berlanjut.

Indeks dolar AS yang berada di level terendah dalam lebih dari dua tahun terakhir langsung bangkit setelah rilis data tenaga kerja AS tersebut. Alhasil, harga emas yang di pagi hari mencatat rekor tertinggi langsung drop 1,38%, menutup perdagangan Jumat di level US$ 2.034,62/troy ons. Efeknya, harga emas Antam 1 gram juga turun menjadi Rp 1.055.000/batang. 

"Bahan bakar" emas lainnya, yakni resesi. Jadi jelas, ketika ekonomi AS bangkit, tentunya peluang keluar dari resesi semakin cepat. Satu lagi "bahan bakar" emas akan hilang.

Terakhir kebijakan suku bunga rendah dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), yang merupakan "bensin" utama emas melesat naik. Memang kebijakan ini akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama sampai ekonomi AS benar-benar pulih.

Kebijakan The Fed saat ini sama dengan saat krisis finansial global 2008 yang juga membawa emas mencapai rekor tertinggi sepanjang masa sebelumnya US$ 1.920,3/troy ons pada September 2011.

Berkaca dari pergerakan emas saat itu, pada pertengahan tahun 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana untuk mengurangi QE. Baru sebatas wacana saja harga emas langsung merosot tajam.

The Fed pada akhirnya mengurangi QE mulai Januari 2014, emas pun makin merosot hingga akhirnya menyentuh level US$ 1.045,85/troy ons pada Desember 2015. Hanya dalam waktu tiga tahun harga emas ambrol dari US$ 1.920,3/troy ons ke US$ 1.045,85/troy ons.

Melihat pergerakan tersebut, patut diwaspadai kejatuhan harga emas, meski sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Ketika harga emas dunia jatuh, harga emas batangan tentunya berisiko ikut merosot. Bukannya untung, tapi malah buntung. Apalagi emas merupakan aset tanpa imbal hasil (yield), praktis cuan yang diperoleh hanya dari selisih harga.

Dengan prediksi para analisis harga emas dunia yang masih akan menanjak, investasi emas kalo misalnya Indonesia mengalami resesi bisa menjadi pilihan. Tetapi tetap harus melihat adanya risiko penurunan harga seperti yang digambarkan di atas.

Ingatlah idiom, don't put all your age in one basket.

Selain emas, obligasi juga bisa menjadi pilihan menarik di saat resesi melanda. Selain itu ada juga mata uang uang menyandang status safe haven seperti dolar AS, yen, hingga franc Swiss.

Oblogasi Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN) merupakan aset fixed income. Apalagi saat ini inflasi sedang rendah sehingga real return yang diperoleh akan lebih besar. Yield SBN tenor 10 tahun saat ini berada di level 6,787%.

Badan Pusat Statistik (BPS) di awal pekan ini melaporkan inflasi Indonesia pada Juli 2020 masih rendah. Bahkan inflasi tahun kalender sepanjang 2020 belum menyentuh 1%.

Pada Senin (3/8/2020), BPS mengumumkan inflasi pada Juli adalah -0,1% month-to-month (MtM) alias deflasi. Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,98% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 1,54%.

Artinya ada selisih lebih dari 5% adanya yield SBN tenor 10 tahun dengan inflasi di Indonesia.

Sementara dari mata uang, dolar AS berpeluang kembali menguat seandainya resesi terjadi di dalam negeri. Sebagai mata uang emerging market, posisi rupiah menjadi kurang menguntungkan saat terjadi resesi, bahkan jika resesi terjadi di luar Indonesia.

Sebelum tahun ini, resesi pernah terjadi di tahun 2008, khususnya di AS dan negara-negara barat. Saat itu, Indonesia memang tidak ikut mengalami resesi, hanya pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tetapi rupiah terpukul hebat.

Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang 2008 rupiah mengalami pelemahan 15,55% melawan dolar AS. Puncak terlemah rupiah yang dilihat dari level penutupan perdagangan di Rp 12.150/US$ atau melemah 29,39% year-to-date (YtD) yang dicapai pada 1 Desember 2008. Di akhir tahun itu, rupiah berada di level Rp 10.850/US$.

Melawan mata uang safe haven lainnya kinerja rupiah bahkan lebih parah. Berhadapan dengan franc Swiss, rupiah ambrol 22,69% sepanjang 2008, berakhir di level Rp 10.159,18/CHF. Titik terlemah rupiah di level Rp 10.382,26/CHF yang dicapai pada 29 Desember, saat itu rupiah melemah 25,38% YtD.

Yen Jepang menjadi yang paling berjaya. Rupiah dibuat ambrol 42,08% di tahun 2008. Posisi akhir 2008 di Rp 119,76/JPY, bandingkan dengan posisi akhir 2007 di Rp 84,29/JPY.

Titik terlemah rupiah di Rp 128,56/JPY yang dicapai pada 1 Desember 2008, kala itu Mata Uang Garuda ambrol 52,52% YtD.

Berbagai aset tersebut, mulai dari emas, obligasi, hingga mata uang safe haven bisa menjadi pilihan investasi di kala resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular