
Kalau RI Resesi (Amit-amit), Emas Layak Nggak Jadi Investasi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia terancam mengalami resesi di kuartal III-2020. Ini setelah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di kuartal II lalu berkontraksi alias tumbuh negatif secara tahunan (year-on-year/YoY).
Jika di kuartal III nanti PDB masih tumbuh negatif, maka Indonesia sah mengalami resesi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu menyatakan risiko resesi tersebut masih ada setelah kontraksi PDB di kuartal II-2020 cukup dalam, -5,32% YoY.
"Memang probabilitas negatif (di kuartal III) masih ada karena penurunan sektor tidak bisa secara cepat pulih," kata Sri Mulyani melalui konferensi pers virtual, Rabu (5/8/2020).
Kala resesi melanda, harga emas sudah pasti menjadi salah satu investasi favorit. Ini sudah jelas karena emas menyandang status aset aman (safe haven). Dengan status tersebut, resesi yang sudah terjadi di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), justru menjadi berkah bagi logam mulia. Harga emas dunia mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 2.072,49/troy ons pada Jumat lalu.
Namun, ketika misalnya Indonesia mengalami resesi, apakah emas menjadi pilihan investasi yang tepat? Berikut penjelasannya.
Harga emas dunia menjadi salah satu faktor yang menentukan harga emas batangan di dalam negeri. Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk atau yang biasa dikenal dengan emas Antam misalnya, juga mencetak rekor termahal di pekan ini.
Berdasarkan data dari situs logammulia.com, harga emas batangan dengan berat 1 gram mencetak rekor termahal Rp 1.065.000/batang yang dicatat pada Jumat lalu. Dibandingkan posisi akhir tahun lalu, Rp 771.000/batang, harga emas Antam sudah meroket 38,13%, cuan jumbo tentunya bagi yang sudah berinvestasi emas sejak akhir tahun lalu.
Harga emas batangan 100 gram yang menjadi acuan dihargai Rp 100.712.000/batang atau Rp 1.007.120/gram. Ini merupakan kali pertama emas batangan 100 gram ini harganya menembus Rp 1 juta/gram.
Banyak analis memprediksi harga emas dunia masih akan meroket tajam, sehingga harga emas batangan di dalam negeri juga berpotensi mengekor. Barry Dawes, dari Martin Place Securities, dalam dua tahun ke depan harga emas disebut akan mencapai US$ 3.500/troy ons.
Sementara itu Ole Hansen, Kepala Ahli Strategi Komoditas di Saxo Bank, memprediksi emas akan mencetak rekor tertinggi pada tahun depan, dan jangka panjang emas akan mencapai US$ 4.000/troy ons.
Analis lainnya, Jurge Kiener dari Swiss Asia Capital bahkan lebih bullish lagi. Secara teknikal ia melihat ada peluang emas mencapai US$ 8.000/troy ons. Sementara Dan Olivier, pendiri Myrmikan Capital, yang memprediksi emas akan mencapai US$ 10.000/troy ons.
Prediksi harga emas ekstrim tersebut, mulai dari US$ 4.000 hingga US$ 10.000/troy ons tersebut untuk jangka panjang, artinya dalam beberapa tahun ke depan.
Tetapi jangan buru-buru happy melihat prediksi tersebut, harga emas dunia juga berisiko "jatuh dari langit".
Hal itu bisa terjadi ketika perekonomian AS membaik. Data tenaga kerja yang dirilis Jumat lalu menjadi sinyal awal kebangkitan ekonomi Negeri Paman Sam, tentunya jika tren pemulihan pasar tenaga kerja bisa terus berlanjut.
Indeks dolar AS yang berada di level terendah dalam lebih dari dua tahun terakhir langsung bangkit setelah rilis data tenaga kerja AS tersebut. Alhasil, harga emas yang di pagi hari mencatat rekor tertinggi langsung drop 1,38%, menutup perdagangan Jumat di level US$ 2.034,62/troy ons. Efeknya, harga emas Antam 1 gram juga turun menjadi Rp 1.055.000/batang.
"Bahan bakar" emas lainnya, yakni resesi. Jadi jelas, ketika ekonomi AS bangkit, tentunya peluang keluar dari resesi semakin cepat. Satu lagi "bahan bakar" emas akan hilang.
Terakhir kebijakan suku bunga rendah dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), yang merupakan "bensin" utama emas melesat naik. Memang kebijakan ini akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama sampai ekonomi AS benar-benar pulih.
Kebijakan The Fed saat ini sama dengan saat krisis finansial global 2008 yang juga membawa emas mencapai rekor tertinggi sepanjang masa sebelumnya US$ 1.920,3/troy ons pada September 2011.
Berkaca dari pergerakan emas saat itu, pada pertengahan tahun 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana untuk mengurangi QE. Baru sebatas wacana saja harga emas langsung merosot tajam.
The Fed pada akhirnya mengurangi QE mulai Januari 2014, emas pun makin merosot hingga akhirnya menyentuh level US$ 1.045,85/troy ons pada Desember 2015. Hanya dalam waktu tiga tahun harga emas ambrol dari US$ 1.920,3/troy ons ke US$ 1.045,85/troy ons.
Melihat pergerakan tersebut, patut diwaspadai kejatuhan harga emas, meski sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Ketika harga emas dunia jatuh, harga emas batangan tentunya berisiko ikut merosot. Bukannya untung, tapi malah buntung. Apalagi emas merupakan aset tanpa imbal hasil (yield), praktis cuan yang diperoleh hanya dari selisih harga.
Dengan prediksi para analisis harga emas dunia yang masih akan menanjak, investasi emas kalo misalnya Indonesia mengalami resesi bisa menjadi pilihan. Tetapi tetap harus melihat adanya risiko penurunan harga seperti yang digambarkan di atas.
Ingatlah idiom, don't put all your age in one basket.