Asing Masih Gencar Obral Saham, Ternyata Ini Biang Keroknya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 August 2019 11:08
Asing Masih Gencar Obral Saham, Ternyata Ini Biang Keroknya
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,07% ke level 6.257,56 pada perdagangan hari ini, dengan cepat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah ke zona merah. Hingga pukul 10:45 WIB, indeks saham acuan di Indonesia tersebut ditransaksikan melemah 0,15% ke level 6.243,58.

Investor asing memegang peranan penting dalam membuat IHSG terdampar di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 118 miliar di pasar reguler, melansir data dari RTI.

Terhitung sejak tanggal 9 Agustus, investor asing selalu membukukan jual bersih di pasar reguler. Jika ditotal, dalam periode 9-22 Agustus investor asing sudah membukukan jual bersih senilai Rp 3,52 triliun di pasar reguler

Saham-saham yang banyak dilepas investor asing pada perdagangan hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 44,6 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 11,9 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 11,4 miliar), PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (Rp 11 miliar), dan PT Astra International Tbk/ASII (Rp 10,7 miliar).

Ada tiga faktor yang menyebabkan investor asing terus melepas kepemilikannya atas saham-saham di tanah air pada hari ini. Pertama, potensi eskalasi perang dagang AS-China.

Untuk kesekian kalinya, Presiden AS Donald Trump kembali "menelanjangi" China di hadapan publik. Berbicara di hadapan reporter kemarin (21/8/2019) sebelum berangkat ke Kentucky, Trump mengatakan bahwa dirinya merupakan "sosok yang terpilih" karena berani melawan praktek perdagangan curang yang selama ini dieksekusi oleh China.

"Ini bukanlah perang dagang saya, ini adalah sebuah perang dagang yang harusnya sudah berlangsung sejak dulu," kata Trump di area Gedung Putih, melansir CNBC International.

"Seseorang harus melakukannya. Saya adalah sosok yang terpilih (the Chosen One)," lanjut Trump sembari memandang ke langit.

Trump juga mengumbar bahwa sejauh ini, AS merupakan pihak yang menjadi pemenang dalam perang dagang dengan China.

"Saya melawan China di bidang perdagangan, dan anda tahu? Kita memenangkannya."

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara pihak China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Pada awal bulan ini, Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini sejatinya akan mulai berlaku pada tanggal 1 September, sebelum kemudian AS merubah keputusannya.

Belum lama ini, Kantor Perwakilan Dagang AS pada hari ini mengumumkan bahwa pihaknya akan menghapus beberapa produk dari daftar produk impor asal China yang akan dikenakan bea masuk baru pada awal bulan depan.

Kantor Perwakilan Dagang AS dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa keputusan ini dilandasi oleh alasan "kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan faktor-faktor lainnya", dilansir dari CNBC International.

Lebih lanjut, pengenaan bea masuk baru senilai 10% untuk berbagai produk lainnya yang sejatinya akan mulai berlaku efektif pada awal September diputuskan ditunda hingga 15 Desember. Produk-produk yang akan ditunda pengenaan bea masuknya mencakup ponsel selular, laptop, konsol video game, dan monitor komputer.

Namun, penundaan bea masuk tersebut dilakukan guna menjaga konsumsi masyarakat AS di musim liburan sehingga tak begitu dipandang sebagai etikat baik oleh China.

Kini, aksi Trump yang kembali "menelanjangi" China di hadapan publik dikhawatirkan akan membuat perang dagang kedua negara kembali tereskalasi.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Risalah Rapat The Fed Membawa Kekhawatiran
Faktor kedua yang memantik aksi jual investor asing di pasar saham tanah air adalah rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juli 2019.

Seperti yang diketahui, dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu, Gubernur The Fed Jerome Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi pihaknya hanyalah sebuah “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment”. Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif,” kata Powell, dilansir dari CNBC International.

“Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat.”

Nah, pernyataan dari Powell ini dikonfirmasi oleh risalah rapat tersebut. Para pejabat The Fed yang setuju untuk memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu sepakat bahwa keputusan tersebut tak seharusnya dipandang sebagai indikasi bahwa tingkat suku bunga acuan akan kembali dipangkas di masa depan.

“Dalam diskusi mereka terkait dengan prospek kebijakan moneter di masa depan, para peserta secara umum menginginkan sebuah pendekatan di mana arah kebijakan (moneter) ditentukan oleh informasi-informasi yang akan datang dan implikasinya untuk prospek perekonomian,” tulis risalah rapat The Fed yang dirilis pada dini hari tadi waktu Indonesia, dilansir dari CNBC International.

Risalah tersebut kemudian menyebut kebanyakan peserta rapat memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu “merupakan bagian dari pengkalibrasian ulang atas stance kebijakan (The Fed) atau penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment”, di mana itu merupakan respons dari kondisi perekonomian global yang telah berubah.

Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif dari The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.  

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,331%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,871% saja.

Akibatnya, investor asing pun memilih untuk melepas instrumen berisiko seperti saham.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia Bikin Grogi
Faktor ketiga yang memantik aksi jual investor asing di pasar saham tanah air adalah kekhawatiran yang menyelimuti seiring dengan gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Pada hari Rabu dan Kamis (21-22 Agustus), BI menggelar RDG guna menentukan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Keputusan terkait dengan tingkat suku bunga acuan terbaru akan diumumkan pada siang hari ini.

Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa BI akan menahan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Sekedar mengingatkan, pasca menggelar RDG selama dua hari pada pertengahan bulan lalu, BI mengumumkan pemangkasan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.

Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebesar 175 bps.

Kini, para ekonom justru memproyeksikan bahwa BI akan menginjak rem dengan menahan tingkat suku bunga acuan, walaupun analisis kami menunjukkan bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps.


Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu, kurang bergairah.   Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%. Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.

Jelas dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut guna merangsang laju perekonomian tanah air. Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Bermain aman sembari menantikan hasil RDG BI, investor asing melepas kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular