
Kelebihan Suplai, Ini Cara SMGR Bersiasat
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
21 August 2019 13:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) masih tertekan pada semester pertama 2019. Hal ini disebabkan masalah klasik kelebihan pasokan (oversupply) dan serbuan dari produsen semen China.
Selain itu, penjualan semen secara nasional mengalami penurunan permintaan pada Juli secara tahunan sebesar 2,1%.
Hingga semester pertama 2019, Semen Indonesia membukukan penjualan 13,78 juta ton, lebih rendah dari etahun sebelumnya 14,77 juta ton. Turunnya penjualan SMGR berimbas laba bersih yang terkoreksi pada semester I-2019 jadi Rp 484,78 miliar, dibandingkan dengan setahun sebelumnya Rp 971,34 miliar.
SVP of SMO & Communication Semen Indonesia, Ami Tantri mengakui, saat ini masih terjadi kelebihan pasokan. Karena itu, SMGR juga belum berencana melakukan ekspansi di luar negeri.
"Kita tidak melakukan ekspansi karena market masih over capacity," kata Ami Tantri, saat paparan publik di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyoroti, emiten semen masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan.
Dalam risetnya yang dipublikasikan Senin pekan ini (12/8/19), Fitch menilai margin emiten semen sudah membaik, setelah sebelumnya selama 6 tahun terakhir margin laba tersebut tergerus terutama karena oversupply produk dasar properti tersebut.
Fitch mencermati, perbaikan margin laba emiten semen terutama didorong turunnya harga batu bara sebagai bahan baku energi dan kenaikan rerata harga jual (average selling price/ASP).
"Kami meyakini menjaga ASP yang tinggi akan menjadi tantangan dalam jangka menengah karena penetapan harga [pricing] yang agresif dari produsen semen domestik yang dimiliki China dan kondisi oversupply yang masih terjadi, meskipun kondisi harga masih akan didukung konsolidasi industri yang baru terjadi," ujar Salman Alamsyah, Associate Director PT Fitch Ratings Indonesia dalam risetnya.
Saat ini, Grup Semen Indonesia tercatat masih menguasai 53,1% pasar semen nasional. Pangsa pasar grup semen BUMN ini meningkat setelah mengakuisisi PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) atau SBI yang sebelumnya bernama Holcim Indonesia.
Terkait dengan serbuan produsen semen dari China, Ami Tantri mengatakan pemain dari China sudah masuk ke Indonesia pada 2014-2015 karena melihat potensi yang cukup besar baik dilihat dari sisi profitabilitas maupun permintaan (demand) yang tumbuh cukup tinggi.
Namun, ia enggan menyalahkan jika produsen semen asal China menawarkan harga yang lebih murah bahkan cenderung melakukan predatory pricing.
"Mereka masuk ke Indonesia, logis dengan produk sama menjual lebih murah untuk meraih pasar, susah menyalahkan mereka juga," kata dia.
(hps/hps) Next Article Ya Ampun! Covid-19 Bikin Banyak Pabrik Semen Nganggur
Selain itu, penjualan semen secara nasional mengalami penurunan permintaan pada Juli secara tahunan sebesar 2,1%.
Hingga semester pertama 2019, Semen Indonesia membukukan penjualan 13,78 juta ton, lebih rendah dari etahun sebelumnya 14,77 juta ton. Turunnya penjualan SMGR berimbas laba bersih yang terkoreksi pada semester I-2019 jadi Rp 484,78 miliar, dibandingkan dengan setahun sebelumnya Rp 971,34 miliar.
SVP of SMO & Communication Semen Indonesia, Ami Tantri mengakui, saat ini masih terjadi kelebihan pasokan. Karena itu, SMGR juga belum berencana melakukan ekspansi di luar negeri.
Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Fitch Ratings menyoroti, emiten semen masih akan dibayangi risiko kelebihan pasokan.
Dalam risetnya yang dipublikasikan Senin pekan ini (12/8/19), Fitch menilai margin emiten semen sudah membaik, setelah sebelumnya selama 6 tahun terakhir margin laba tersebut tergerus terutama karena oversupply produk dasar properti tersebut.
Fitch mencermati, perbaikan margin laba emiten semen terutama didorong turunnya harga batu bara sebagai bahan baku energi dan kenaikan rerata harga jual (average selling price/ASP).
"Kami meyakini menjaga ASP yang tinggi akan menjadi tantangan dalam jangka menengah karena penetapan harga [pricing] yang agresif dari produsen semen domestik yang dimiliki China dan kondisi oversupply yang masih terjadi, meskipun kondisi harga masih akan didukung konsolidasi industri yang baru terjadi," ujar Salman Alamsyah, Associate Director PT Fitch Ratings Indonesia dalam risetnya.
Saat ini, Grup Semen Indonesia tercatat masih menguasai 53,1% pasar semen nasional. Pangsa pasar grup semen BUMN ini meningkat setelah mengakuisisi PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) atau SBI yang sebelumnya bernama Holcim Indonesia.
Terkait dengan serbuan produsen semen dari China, Ami Tantri mengatakan pemain dari China sudah masuk ke Indonesia pada 2014-2015 karena melihat potensi yang cukup besar baik dilihat dari sisi profitabilitas maupun permintaan (demand) yang tumbuh cukup tinggi.
Namun, ia enggan menyalahkan jika produsen semen asal China menawarkan harga yang lebih murah bahkan cenderung melakukan predatory pricing.
"Mereka masuk ke Indonesia, logis dengan produk sama menjual lebih murah untuk meraih pasar, susah menyalahkan mereka juga," kata dia.
(hps/hps) Next Article Ya Ampun! Covid-19 Bikin Banyak Pabrik Semen Nganggur
Most Popular