Rupiah Perkasa, IHSG ke Utara, Isu Resesi Sudah Sirna?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 August 2019 11:47
Rupiah Perkasa, IHSG ke Utara, Isu Resesi Sudah Sirna?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun bergerak ke utara. Apakah kecemasan pelaku pasar akan ancaman resesi mulai memudar? 

Pada Jumat (16/8/2019) pukul 11:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.235. Rupiah menguat 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Sementara IHSG menguat 0,37% pada pukul 11:03 WIB. 

Indikator lain yang mendatangkan optimisme adalah Credit Default Swap (CDS), yang merupakan premi risiko atas obligasi. Semakin tinggi CDS, maka semakin tinggi risiko gagal bayar (default). 

Hari ini, CDS Indonesia untuk tenor lima dan 10 tahun sama-sama turun. Artinya, risiko default semakin kecil. 

 

Situasi ini berbalik dengan kemarin, di mana rupiah dan IHSG selalu melemah dan tidak pernah mengendus zona hijau. Kemarin, isu ancaman resesi global begitu kental mewarnai perjalanan pasar. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Secara umum, kecemasan terhadap resesi memang agak mereda hari ini. Dini hari tadi waktu Indonesia, bursa saham New York sudah membaik dibandingkan kemarin yang anjlok dalam.  

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun juga sudah lagi mengalami inversi, kondisi di mana yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor panjang. Inversi yield dua tenor ini kerap kali menjadi alarm terjadinya resesi dalam waktu tidak terlalu lama. 


Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS berbagai tenor pada pukul 11:11 WIB: 

 

Sentimen positif juga datang dari China. Mengutip Reuters, pemerintah China menegaskan siap menggelontorkan stimulus untuk mendorong permintaan domestik. 

Meng Wei, Juru Bicara Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China, mengatakan pemerintah akan mereformasi sistem Hukou. Sistem ini adalah semacam identitas penduduk yang digunakan untuk menyalurkan program bantuan sosial. Dengan reformasi sistem Hukou, Beijing akan memperluas cakupan penerima bantuan sosial. 

Dinamika hubungan AS-China juga positif. Ada kabar baik dari Presiden AS Donald Trump. 

"Sepengetahuan saya, pertemuan pada September masih terjadwal. Namun yang lebih penting dari pertemuan itu, kami (AS dan China) terus berkomunikasi melalui telepon. Pembicaraan kami sangat produktif," ungkap Trump, dikutip dari Reuters. 

Asa damai dagang kembali menyeruak. Ada harapan perundingan dagang AS dan China di Washington pada awal September menuai hasil positif. Jika itu terjadi, maka bukan tidak mungkin AS membatalkan rencana pengenaan bea masuk 10% kepada importasi produk China senilai US$ 300 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. 


Dengan pasar keuangan Indonesia yang sekarang positif, kabar baik dari China, dan harapan damai dagang, apakah pelaku pasar tidak perlu khawatir dengan ancaman resesi? Apalagi Janet Yellen, eks Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), menegaskan bahwa sinyal-sinyal yang sering disebut sebagai pertanda resesi palsu belaka? 


Jangan dulu. Jangan melepas kuda-kuda, kewaspadaan harus terus dijaga. 

Dari sisi yield obligasi pemerintah AS, inversi memang sudah tidak terjadi di tenor dua dan 10 tahun. Namun untuk tenor-tenor lainnya masih punya yield yang lebih tinggi ketimbang 10 tahun. 

Oleh karena itu, sebenarnya pelaku pasar masih mengendus adanya risiko dalam jangka pendek. Investor masih meminta 'jaminan' yang lebih tinggi karena ada risiko dan ketidakpastian dalam waktu dekat. 

Kemudian soal relasi AS-China. Oke hari ini ada perkembangan yang positif. Namun kita tahu hubungan kedua negara ini sering panas-dingin, mesra-benci. Hari ini mesra, besok bisa benci (biasanya gara-gara celetukan Trump). 

Jadi sebelum damai dagang AS-China benar-benar terwujud di atas kertas, ada kesepakatan hitam di atas putih, sebaiknya kewaspadaan harus tetap terpasang. Masih ada bara dalam sekam yang bisa muncul kapan saja. 

Lalu dari sisi data-data ekonomi, masih ada aura gloomy. Pada Juli, produksi industri AS turun 0,2% month-on-month (MoM), memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2% MoM. Kemudian pada pekan yang berakhir 10 Agustus, jumlah orang yang mengambil tunjangan pengangguran di AS adalah 220.000, naik 9.000 dibandingkan pekan sebelumnya. 



Beralih ke Singapura, ekspor non-migas pada Juli turun 11,2% year-on-year (YoY). Ini menjadi kontraksi kelima berturut-turut. 

Teranyar, indeks aktivitas manufaktur di Selandia Baru turun ke 48,2 pada Juli. Indeks yang di bawah 50 berarti dunia usaha mengalami kontraksi, tidak ada ekspansi. 

Oleh karena itu, hantu ancaman resesi sebenarnya belum benar-benar pergi. Dia masih menunggu di sudut kamar dan siap bergentayangan ketika malam datang.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular