Pegang Saham BNGA 20 Tahun: Bukannya Untung Malah Buntung!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 August 2019 06:00
Pegang Saham BNGA 20 Tahun: Bukannya Untung Malah Buntung!
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Jika berbicara mengenai pasar keuangan, 20 tahun terbilang waktu yang panjang untuk memegang suatu instrumen keuangan. Ketika instrumen keuangan yang dimaksud adalah saham yang risikonya relatif tinggi saja, jika digenggam dalam 20 tahun rasanya investor tak mungkin rugi.

Untuk diketahui, dalam 20 tahun terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan penguatan sebesar 1.022%. Namun ternyata, ada loh saham yang malah membuat investornya menderita kerugian walau sudah menginvestasikan dana dan waktu selama 20 tahun.

Saham yang dimaksud adalah saham PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA). Dalam waktu 20 tahun terakhir, harga saham dari bank yang kini mayoritas dimiliki oleh CIMB Group tersebut justru melemah sebesar 1,4%.


Untuk diketahui, kini Bank CIMB Niaga masuk dalam kategori bank BUKU 4, bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Sejauh ini, ada enam bank yang masuk ke dalam kategori bank bermodal jumbo tersebut, termasuk Bank CIMB Niaga. Kelima lainnya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN).

Jika dibandingkan dengan saham-saham bank yang kini masuk dalam kategori BUKU 4, kinerja saham BNGA juga bisa dibilang mengecewakan. Namun, untuk membandingkannya kita tak bisa menggunakan periode 20 tahun. Hal ini lantaran beberapa saham bank yang kini masuk dalam kategori BUKU 4 belum melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 20 tahun yang lalu.

Tanggal pertama di mana keenam saham bank BUKU 4 sudah tercatat semua di BEI adalah 7 November 2003. Jika dihitung sejak 7 November 2003 hingga penutupan perdagangan kemarin (15/8/2019), harga saham BNGA memang menguat, yakni sebesar 252%. Namun, penguatan yang dibukukan harga saham BNGA sangatlah rendah jika dibandingkan apresiasi yang dibukukan oleh saham bank BUKU 4 lainnya.


Bank BCA misalnya, mencatatkan kenaikan harga saham hingga 3.164% pada periode tersebut. Bahkan, Bank BRI mampu membuat investornya cuan hingga 4.730%.

Untuk diketahui, dalam periode 7 November 2003 hingga kemarin, IHSG melejit sebesar 898%.



Sudah Bertahun-Tahun Lesu
Kalau ditilik, sejatinya harga saham Bank CIMB Niaga menunjukkan kinerja yang ciamik hingga tahun 2010. Namun, selepas itu harga saham perusahaan berangsur-angsur turun.


Kinerja keuangan perusahaan yang kurang ciamik membuat pelaku pasar melepas kepemilikannya atas saham Bank CIMB Niaga mulai tahun 2011. Dalam periode 2003-2010, kinerja keuangan perusahaan terbilang oke, di mana pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) dan laba bersih hampir selalu mencetak pertumbuhan sebesar dua digit.

Memang, selepas tahun 2010 laba bersih perusahaan kerap kali mencatatkan pertumbuhan sebesar dua digit. Namun, kenaikan laba bersih sebesar dua digit tersebut terjadi tanpa kenaikan yang signifikan di pos NII.

Untuk diketahui, bagi bank pada umumnya, NII merupakan sumber penerimaan yang paling utama, tak terkecuali bagi Bank CIMB Niaga. Lantas, melesatnya laba bersih tanpa diimbangi kenaikan NII yang signifikan memberi sinyal bahwa lonjakan laba bersih akan sulit dipertahankan di masa mendatang.



BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Tahun Lalu Hancur Lebur, Tahun Ini Masih Jadi Pesakitan
Pada tahun 2018, harga saham Bank CIMB Niaga hancur lebur, yakni terkontraksi sebesar 32,2%. Penyebabnya, NII perusahaan terkontrasi sebesar 3,16% jika dibandingkan dengan tahun 2017, dari Rp 12,4 triliun menjadi Rp 12 triliun.

Terhitung sejak tahun 2003 hingga 2017, tak pernah sekalipun NII perusahaan terkontraksi.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, NII merupakan sumber penerimaan yang paling utama bagi Bank CIMB Niaga. Wajar jika pelaku pasar memberikan hukuman yang berat terhadap saham perusahaan kala sumber pendapatan utamanya justru terkontraksi.

Pada awal tahun ini, harga saham perusahaan sejatinya mencoba bangkit. Namun, dalam beberapa waktu terakhir pelaku pasar kembali ‘menghajar’ harga saham Bank CIMB Niaga. Terhitung dalam periode 22 Juli 2019 (selepas harga saham BNGA menyentuh titik tertinggi dalam lebih dari empat bulan) hingga 15 Agustus 2019, harga saham perusahaan sudah jatuh sebesar 6,87%, dari Rp 1.165/unit menjadi Rp 1.085/unit.

Penyebabnya ya masih itu-itu saja: kinerja keuangan dari bank yang dipimpin oleh Tigor M. Siahaan tersebut tak menggembirakan. Sedikit mundur, pada kuartal I-2018 laba bersih perusahaan tercatat meroket sebesar 37% secara tahunan menjadi Rp 877 miliar, dari yang sebelumya Rp 640 miliar pada kuartal I-2017. Namun, hawa-hawa bahwa lonjakan laba bersih tak akan mampu dipertahankan di periode-periode berikutnya sejatinya sudah tercium di sini. Pasalnya, NII hanya naik tipis 2% secara tahunan pada kuartal I-2018 menjadi Rp 3,03 triliun, dari yang sebelumnya Rp 3,1 triliun pada kuartal I-2017.

Hal ini kemudian menjadi kenyataan. Pada periode kuartal I-2019, kenaikan laba bersih perusahaan merosot menjadi 7,6% saja secara tahunan (dari 37% pada kuartal I-2018). Sementara itu, NII hanya tumbuh tipis sebesar 0,2% secara tahunan.

Pada tiga bulan kedua tahun ini, sejatinya perusahaan menunjukkan perbaikan. Pada kuartal II-2019, NII perusahaan melonjak 10,9% menjadi Rp 3,3 triliun, dari yang sebelumnya Rp 2,96 triliun pada kuartal II-2018. Kemudian, laba bersih perusahaan naik hingga 15,8% menjadi Rp 1,03 triliun, dari yang sebelumnya Rp 891 miliar pada kuartal II-2018.

Namun jika ditotal untuk semester I-2019, kinerja perusahaan masih terbilang loyo. Kinerja yang relatif oke pada kuartal II-2019 tak cukup untuk mengompensasi kinerja kuartal I-2019 yang mengecewakan.

Untuk periode semester I-2019, NII perusahaan tercatat senilai Rp 6,3 triliun, sementara laba bersih adalah senilai Rp 1,98 triliun. Pertumbuhan laba bersih pada semester I-2019 hanya mencapai 11,8% YoY, terpangkas dengan signifikan dari pertumbuhan pada semester I-2018 yang mencapai 28,1% YoY.

Berbicara mengenai NII, melansir konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv, para analis memproyeksikan perusahaan akan meraup NII senilai Rp 13 triliun pada tahun 2019. Lantas, realisasi hingga semester I-2019 belum mencapai 50% dari yang ditargetkan para analis.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular