Kejayaan Minyak yang Padam & 'Ninabobo' BBM yang Manjakan RI

Market - Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 August 2019 18:18
Masyarakat Indonesia sudah terlalu lama terbuai oleh kehadiran bahan bakar minyak (BBM) dengan harga murah Foto: Pengendara mengisi BBM di Salah satu SPBU, Kuningan, Jakarta, Minggu (10/2). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat Indonesia sudah terlalu lama terbuai oleh kehadiran bahan bakar minyak (BBM) dengan harga murah. Hal itu menjadi salah satu faktor yang menghambat implementasi teknologi baru terkait pemanfaatan energi ramah lingkungan.

Memang, dulu produksi minyak Indonesia terbilang cukup besar. Sejak mulai dieksploitasi pada tahun 1966, produksi minyak dari perut bumi Ibu Pertiwi terus melesat mencapai puncaknya pada tahun 1977. Kala itu, produksi minyak Indonesia mencapai 1,68 juta barel/hari.

Boleh dibilang masa kejayaan industri migas Tanah Air terjadi pada era 70-an hingga mulai masuk abad ke-21 (awal 2000-an). Pada masa itu, produksi minyak Indonesia terus berada di atas level 1,2 juta barel/hari.



Bahkan pada periode 1962-2008, Indonesia masuk ke dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Selain itu, hingga tahun 2003, Indonesia juga masih tercatat sebagai negara net-eksportir minyak.



Artinya neraca minyak Indonesia masih didominasi oleh ekspor, sementara impor lebih kecil. Kondisi tersebut membuat Indonesia diuntungkan oleh minyak bumi dalam perdagangan.

Sejatinya, Indonesia bukanlah negara dengan cadangan minyak yang besar. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak Indonesia hanya sebesar 0,02% dari total cadangan minyak dunia. Bila terus disedot, minyak Indonesia akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Namun ada hal yang membuat Indonesia begitu bersemangat mengembangkan industri minyak.



Oil Boom

Salah satunya adalah krisis minyak global. Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Timur Tengah memperketat produksi minyak sebagai aksi boikot terhadap Israel mulai tahun 1973.

Maka terjadilah peristiwa yang biasa dikenal dengan Oil Boom. Harga minyak mentah di pasar dunia yang pada awal tahun 1970-an hanya sekitar US$ 1,7/barel meroket hingga mencapai US$ 12/barel. Naik hampir 10 kali lipat.

Harga minyak yang melonjak ini membuat para pelaku industri berbondong-bondong menggenjot produksi. Membuka lahan-lahan pengeboran, dan berkeliling mencari cadangan minyak baru.

Harga minyak masih terus merangkak naik kala itu, bahkan pada tahun 1996 harga minyak sudah mencapai US$ 23/barel.

Maka tak heran apabila industri minyak Indonesia melesat saat itu dan menikmati bauran keuntungan yang tidak sedikit.

Siapa yang bisa menolak rejeki, ya kan?



Lagu Ninabobo Mulai Masuk Fase Outro

Kini, masa jaya minyak Indonesia semakin redup. Mulai akhir tahun 90-an, produksi minyak Indonesia terus merosot. Bahkan per akhir tahun 2007, produksi minyak sudah tidak bisa mencapai 1 juta barel/hari lagi. Per akhir tahun 2018, produksi minyak mentah RI hanya sebesar 772,25 ribu barel/hari. Tren penurunan ini juga masih terus berlanjut.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memprediksi tren penurunan ini akan berlanjut setidaknya hingga tahun 2050. Ini bisa terjadi karena kondisi sumur-sumur minyak yang sudah semakin tua.

Semakin lama disedot, produksi minyak di suatu sumur memang lumrah mengalami penurunan. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir juga tidak ditemukan cadangan minyak baru yang cukup besar. Alhasil produksi minyak Indonesia diprediksi hanya sebesar 513,87 ribu barel/hari pada tahun 2026 dan merupakan level terendah sejak tahun 1996.

Dengan begitu, impor BBM akan mengalir semakin deras ke depannya.

Jika dilihat lagi, Indonesia hanya menikmati masa jaya industri minyak selama 20 tahun saja. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa Indonesia bukanlah negara kaya minyak (ingat cadangan minyak Indonesia hanya 0,02% total cadangan dunia). Ibarat kata, ikutan tren.

Masyarakat Masih Terbuai 

Sayangnya, masyarakat Indonesia masih punya pikiran bahwa kita kaya akan minyak. Alhasil, di tengah masyarakat beredar pemahaman bahwa harga BBM harus murah. Kita kan kaya minyak.

Pemerintah pun seakan mendukung stigma tersebut. Dengan Berbagai bauran subsidi, pemerintah sukses membuat harga BBM untuk konsumen ritel sangat murah.

Setidaknya sejak tahun 2006, pemerintah selalu mengalokasikan dana yang cukup besar untuk subsidi BBM. Secara rata-rata sepanjang periode 2006-2004 porsi subsidi BBM terhadap total anggaran belanja negara adalah 11,2%.

Bayangkan, sepersepuluh dari anggaran pemerintah hanya digunakan untuk membuat harga BBM tetap murah bagi masyarakat.



Subsidi BBM paling besar digelontorkan pada tahun 2014. Kala itu, anggaran racikan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengalokasikan dana sebesar Rp 239,98 triliun untuk subsidi BBM. Nilainya setara dengan 13,5% dari total anggaran pemerintah.

Memang, pemerintah kini sudah menurunkan anggaran untuk subsidi.

Sejak awal masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memangkas anggaran subsidi BBM cukup dalam. Bahkan pada tahun 2016, porsi subsidi BBM dalam anggaran belanja pemerintah hanya 2,3% saja.

Akan tetapi pada tahun 2018, realisasi anggaran subsidi BBM Jokowi membengkak hingga Rp 97,01 triliun atau 4,4%. Sementara untuk tahun 2019, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp 100 triliun. Tampaknya pemerintah masih ada niat untuk mempertahankan harga BBM murah bagi masyarakat.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya

Harga Minyak Dunia Naik Terus, BBM Bakal Ngikut?


(taa/gus)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading