
Ekonomi Sulit, Penjualan Properti Mewah Terjun Bebas
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
15 August 2019 14:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri properti tampaknya belum memberi sinyal akan bangkit (rebound) pada semester kedua tahun ini meski berbagai bauran kebijakan moneter dan fiskal turut mendukung. Penjualan properti di segmen high rise seperti condominium atau properti mewah maupun office mengalami perlambatan.
Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD) mengutarakan, industri properti di semester kedua belum kondusif, meski otoritas moneter telah menurunkan kebijakan suku bunga acuan dari 6% menjadi 5,75%. Kebijakan ini, tak serta-merta langsung menaikkan permintaan masyarakat akan produk properti.
"Situasi masih belum jelas, penjualan di high rise justru sepi. Harapannya tentu membaik di semester kedua," kata Theresia kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/8/2019).
Dia menjelaskan, sepinya penjualan di high rise building karena permintaan yang relatif stagnan. "Demand belum bergerak," ujarnya lagi.
Hal ini terindikasi dari riset yang dipublikasikan JLL, pada kuartal I-2019, yang menyebutkan penjualan properti high rise building memang melambat sejak 4 tahun terakhir. Sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang relatf ajeg di level 5%.
"Pemilihan presiden turut berdampak pada sentimen daya beli konsumen, mereka cenderung menahan diri," tulis JLL, dalam risetnya.
Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi DILD Archied Noto Pradono optimistis, penjualan di semester kedua meningkat 10% dari tahun sebelumnya.
Strategi yang diterapkan perseroan adalah mengembangkan proyek yang menyesuaikan kebutuhan konsumen. Misalnya saja, Intiland mengembangkan proyek apartemen yang berdekatan dengan stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Dengan demikian, pengguna akan mendapat kemudahan dari segi akses maupun konektivitas.
(hps/hps) Next Article Bunga Acuan BI Turun Tak Jamin Properti Bisa Pulih
Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk (DILD) mengutarakan, industri properti di semester kedua belum kondusif, meski otoritas moneter telah menurunkan kebijakan suku bunga acuan dari 6% menjadi 5,75%. Kebijakan ini, tak serta-merta langsung menaikkan permintaan masyarakat akan produk properti.
"Situasi masih belum jelas, penjualan di high rise justru sepi. Harapannya tentu membaik di semester kedua," kata Theresia kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/8/2019).
Dia menjelaskan, sepinya penjualan di high rise building karena permintaan yang relatif stagnan. "Demand belum bergerak," ujarnya lagi.
Hal ini terindikasi dari riset yang dipublikasikan JLL, pada kuartal I-2019, yang menyebutkan penjualan properti high rise building memang melambat sejak 4 tahun terakhir. Sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang relatf ajeg di level 5%.
"Pemilihan presiden turut berdampak pada sentimen daya beli konsumen, mereka cenderung menahan diri," tulis JLL, dalam risetnya.
Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi DILD Archied Noto Pradono optimistis, penjualan di semester kedua meningkat 10% dari tahun sebelumnya.
Strategi yang diterapkan perseroan adalah mengembangkan proyek yang menyesuaikan kebutuhan konsumen. Misalnya saja, Intiland mengembangkan proyek apartemen yang berdekatan dengan stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta. Dengan demikian, pengguna akan mendapat kemudahan dari segi akses maupun konektivitas.
![]() Sumber: JLL Report |
(hps/hps) Next Article Bunga Acuan BI Turun Tak Jamin Properti Bisa Pulih
Most Popular