
Analisis
Dihantui Isu Resesi, Rupiah Sulit Bangkit
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 August 2019 14:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Pada sisa perdagangan sampai pukul 16:00 WIB, sepertinya rupiah sulit untuk bangkit.
Pada Kamis (15/8/2019) pukul 14:35 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.265. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sentimen eksternal begitu kental mewarnai pelemahan mata uang Tanah Air. Hari ini, persepsi terhadap risiko resesi global membuat investor ogah bermain di instrumen berisiko di negara berkembang.
Sebagai aset negara berkembang, rupiah akan mendapat tekanan jika terjadi pelambatan ekonomi global, apalagi sampai resesi. Para investor akan menghindari aset-aset negara berkembang dan masuk ke aset-aset aman atau safe haven.
Inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS menjadi penyebab menguatnya kembali isu resesi. Inversi merupakan keadaan di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang. Dalam situasi normal, yield obligasi tenor pendek seharusnya lebih rendah.
Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.
Inversi terjadi pada yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dengan 10 tahun. Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007, atau beberapa bulan sebelum meletusnya krisis keuangan global.
Data dari Credit Suisse menunjukkan sejak 1978 terjadi lima kali inversi yield tenor 2 tahun dan 10 tahun dan semuanya merupakan awal terjadinya resesi. Rata-rata resesi akan terjadi 22 bulan setelah inversi tersebut muncul, sebagaimana dikutip CNBC International.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis data perdagangan internasional periode Juli 2019. Sepanjang Juli 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%. Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY.
Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, lebih baik dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Kamis (15/8/2019) pukul 14:35 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.265. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sentimen eksternal begitu kental mewarnai pelemahan mata uang Tanah Air. Hari ini, persepsi terhadap risiko resesi global membuat investor ogah bermain di instrumen berisiko di negara berkembang.
Inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS menjadi penyebab menguatnya kembali isu resesi. Inversi merupakan keadaan di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi daripada tenor panjang. Dalam situasi normal, yield obligasi tenor pendek seharusnya lebih rendah.
Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Oleh karena itu, inversi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.
Inversi terjadi pada yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dengan 10 tahun. Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007, atau beberapa bulan sebelum meletusnya krisis keuangan global.
Data dari Credit Suisse menunjukkan sejak 1978 terjadi lima kali inversi yield tenor 2 tahun dan 10 tahun dan semuanya merupakan awal terjadinya resesi. Rata-rata resesi akan terjadi 22 bulan setelah inversi tersebut muncul, sebagaimana dikutip CNBC International.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis data perdagangan internasional periode Juli 2019. Sepanjang Juli 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan (year-on-year/YoY), lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%. Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY.
Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, lebih baik dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Most Popular