
Likuiditas Kering Kerontang, Apa Kabar Ekonomi Indonesia?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 August 2019 06:30

Berdasarkan laporan keuangan kuartal II-2019 beberapa bank besar di Indonesia menunjukkan kenaikan LDR. Dari enam bank yang masuk dalam Buku IV, tiga diantaranya menunjukkan kenaikan LDR dibandingkan tahun 2018.
BCA, Bank CIMB Niaga dan Bank Panin mencatat penurunan, tetapi LDR Bank Panin mencapai 102,45%.
Belum lagi melihat beberapa bank lainnya yang juga menunjukkan peningkatan LDR seperti BTN, dan Bank Permata. LDR kedua bank tersebut masing-masing sebesar 111,46% dan 92,69% dibandingkan tahun 2018 sebesar 103,25% dan 90,08%.
Ini berarti terjadi pengetatan likuiditas dibandingkan tahun lalu. Memang untuk menjaga likuiditas, BI pada tahun 2015 mengganti LDR menjadi loan to funding ratio (LFR), dimana sumber pendanaan berasal dari DPK ditambah dengan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh bank.
Tetapi tetap saja rasio LDR saat ini menunjukkan likuiditas masih ketat.
Apalagi di semester pertama tahun ini hanya ada lima bank yang menerbitkan obligasi. Kelima bank tersebut yakni Bank Danamon Indonesia (Rp 2 triliun), Bank Maybank Indonesia (Rp 649 miliar), Bank UOB Buana (Rp 100 miliar), Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Rp 750 miliar), dan Indonesia Eximbank (Rp 4,298 triliun), dengan total nilai Rp 7,788 triliun, berdasarkan data IDX. Sementara pada semester I 2018 ada tujuh bank yang menerbitkan obligasi dengan total nilai Rp 17,337 triliun.
Selain DPK, penerbitan obligasi menjadi sarana pendanaan lain bagi bank, ada juga dari pemegang saham, dan pinjaman dari institusi keuangan lain, yang semuanya akan berkontribusi terhadap debt to equity ratio (DER). Jika DER sudah tinggi industri perbankan akan membatasi penerbitan obligasi sebagai salah satu sumber pendanaan, dan likuiditas tidak bisa bertambah.
Pada pertengahan bulan lalu BI merilis publikasi Survei Perbankan edisi kuartal II-2019. Sebagai informasi, survei ini dilakukan terhadap 40 bank umum dengan pangsa pasar kredit sekitar 80% dari total kredit.
Melalui publikasi ini, dapat diperoleh gambaran mengenai permintaan kredit di masa depan, berikut dengan prospek penghimpunan DPK.
Untuk periode kuartal III-2019, pertumbuhan kredit baru secara kuartalan (quarter-on quarter/QoQ) diperkirakan akan meningkat seiring dengan naiknya saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru menjadi 92,8%, dari 78,3% pada kuartal II-2019. Optimisme terhadap kuatnya kondisi perekonomian serta kondisi politik yang kondusif pasca pemilihan umum (Pemilu) disebut oleh responden sebagai faktor yang akan mendorong penyaluran kredit tumbuh lebih tinggi lagi pada kuartal ini.
Sementara itu, penghimpunan dana masyarakat pada kuartal III-2019 diperkirakan tumbuh melambat, tercermin dari SBT pertumbuhan DPK yang sebesar 87,1%, lebih rendah ketimbang capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 95,4%.
Jika survei dari BI ini benar terjadi, likuiditas perbankan akan semakin ketat pada kuartal-III 2019.
Dengan demikian, penurunan suku bunga dari BI menjadi kurang efektif untuk menambah likuiditas di pasar. Kecuali industri perbankan bisa meningkatkan lagi DPK, misalnya dengan beralihnya aliran dana dari obligasi pemerintah ke deposito.
Penurunan suku bunga oleh BI tentunya berdampak juga terhadap penurunan yield obligasi. Terlihat dari Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang terus menurun di tahun ini.
Data dari SPI menunjukkan rata-rata suku bunga deposito 1 bulan Mei sebesar 6,78%, 3 bulan sebesar 6,81%, 6 bulan 7,26% dan 1 tahun 6,99%.
Selisih bunga deposito dengan yield obligasi yang tipis tentunya bisa membuat aliran modal bisa saja mengalir dari SUN ke deposito yang dapat meningkatkan DPK perbankan.
Tetapi jika skenario tersebut tidak berjalan, likuiditas berpotensi akan semakin mengetat, penyaluran kredit bisa direm. Efeknya dunia usaha akan sulit untuk berekspansi, sehingga perekonomian menjadi sulit dipacu lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap)
BCA, Bank CIMB Niaga dan Bank Panin mencatat penurunan, tetapi LDR Bank Panin mencapai 102,45%.
Ini berarti terjadi pengetatan likuiditas dibandingkan tahun lalu. Memang untuk menjaga likuiditas, BI pada tahun 2015 mengganti LDR menjadi loan to funding ratio (LFR), dimana sumber pendanaan berasal dari DPK ditambah dengan surat-surat berharga yang diterbitkan oleh bank.
Tetapi tetap saja rasio LDR saat ini menunjukkan likuiditas masih ketat.
Apalagi di semester pertama tahun ini hanya ada lima bank yang menerbitkan obligasi. Kelima bank tersebut yakni Bank Danamon Indonesia (Rp 2 triliun), Bank Maybank Indonesia (Rp 649 miliar), Bank UOB Buana (Rp 100 miliar), Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Rp 750 miliar), dan Indonesia Eximbank (Rp 4,298 triliun), dengan total nilai Rp 7,788 triliun, berdasarkan data IDX. Sementara pada semester I 2018 ada tujuh bank yang menerbitkan obligasi dengan total nilai Rp 17,337 triliun.
Selain DPK, penerbitan obligasi menjadi sarana pendanaan lain bagi bank, ada juga dari pemegang saham, dan pinjaman dari institusi keuangan lain, yang semuanya akan berkontribusi terhadap debt to equity ratio (DER). Jika DER sudah tinggi industri perbankan akan membatasi penerbitan obligasi sebagai salah satu sumber pendanaan, dan likuiditas tidak bisa bertambah.
Pada pertengahan bulan lalu BI merilis publikasi Survei Perbankan edisi kuartal II-2019. Sebagai informasi, survei ini dilakukan terhadap 40 bank umum dengan pangsa pasar kredit sekitar 80% dari total kredit.
Melalui publikasi ini, dapat diperoleh gambaran mengenai permintaan kredit di masa depan, berikut dengan prospek penghimpunan DPK.
Untuk periode kuartal III-2019, pertumbuhan kredit baru secara kuartalan (quarter-on quarter/QoQ) diperkirakan akan meningkat seiring dengan naiknya saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru menjadi 92,8%, dari 78,3% pada kuartal II-2019. Optimisme terhadap kuatnya kondisi perekonomian serta kondisi politik yang kondusif pasca pemilihan umum (Pemilu) disebut oleh responden sebagai faktor yang akan mendorong penyaluran kredit tumbuh lebih tinggi lagi pada kuartal ini.
Sementara itu, penghimpunan dana masyarakat pada kuartal III-2019 diperkirakan tumbuh melambat, tercermin dari SBT pertumbuhan DPK yang sebesar 87,1%, lebih rendah ketimbang capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 95,4%.
Jika survei dari BI ini benar terjadi, likuiditas perbankan akan semakin ketat pada kuartal-III 2019.
Dengan demikian, penurunan suku bunga dari BI menjadi kurang efektif untuk menambah likuiditas di pasar. Kecuali industri perbankan bisa meningkatkan lagi DPK, misalnya dengan beralihnya aliran dana dari obligasi pemerintah ke deposito.
Penurunan suku bunga oleh BI tentunya berdampak juga terhadap penurunan yield obligasi. Terlihat dari Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang terus menurun di tahun ini.
Data dari SPI menunjukkan rata-rata suku bunga deposito 1 bulan Mei sebesar 6,78%, 3 bulan sebesar 6,81%, 6 bulan 7,26% dan 1 tahun 6,99%.
Selisih bunga deposito dengan yield obligasi yang tipis tentunya bisa membuat aliran modal bisa saja mengalir dari SUN ke deposito yang dapat meningkatkan DPK perbankan.
Tetapi jika skenario tersebut tidak berjalan, likuiditas berpotensi akan semakin mengetat, penyaluran kredit bisa direm. Efeknya dunia usaha akan sulit untuk berekspansi, sehingga perekonomian menjadi sulit dipacu lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap)
Pages
Most Popular