Yuan Menguat, Apakah Currency War Sudah Berakhir?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 August 2019 13:43
Yuan Menguat, Apakah <i>Currency War</i> Sudah Berakhir?
Ilustrasi Yuan China (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak pekan lalu, isu perang mata uang alias currency war kembali marak dibicarakan. Penyebabnya adalah nilai tukar yuan China yang melemah cukup dalam, sehingga menimbulkan persepsi bahwa mata uang ini sengaja dilemahkan. 

Sepanjang pekan lalu, yuan melemah sampai 1,77% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan yuan stabil berada di kisaran CNY 7/US$, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak Maret 2008. 

Namun hari ini, isu itu reda karena yuan sudah menguat. Pada pukul 12:55 WIB, yuan menguat 0,29% terhadap dolar AS. 




Meski begitu, apakah currency war benar-benar sudah berakhir? Jangan senang dulu, karena kemungkinan China menggunakan yuan sebagai 'senjata' masih terbuka lebar. 

Pasalnya, yuan memang bisa dipakai sebagai alat penekan. Sebagaimana kita ketahui, China sedang terlibat friksi dagang dengan AS. Kala Washington mengeluarkan gertakan, misalnya mengancam bakal mengenakan bea masuk, Beijing bisa membalas dengan melemahkan yuan. 

Ini yang terjadi pekan lalu. Presiden AS Donald Trump kala itu mengungkapkan AS akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 10% bagi impor produk China senilai US$ 300 miliar.  

Entah sengaja atau tidak, hari itu juga yuan melemah dalam dan menembus level CNY 7/US$. Ketika yuan lemah, produk China menjadi lebih murah di pasar ekspor sehingga bisa leluasa berpenetrasi ke berbagai negara, termasuk AS. 

Baca: Yuan Terlemah Sejak 2008, Perang Mata Uang Sudah Dimulai?

Perang dagang sudah bertransformasi menjadi perang mata uang. Ada aroma devaluasi kompetitif, upaya terstruktur, sistematis, dan masif untuk melemahkan mata uang. 

Mata uang yuan tidak sepenuhnya bergerak sesuai mekanisme pasar. Setiap harinya, Bank Sentral China (PBoC) menetapkan nilai tengah yuan. Artinya, yuan hanya boleh melemah dan menguat maksimal 2% dari titik tengah itu. 

AS pun tidak terima dan mengadukan kelakuan China ke Dana Moneter Internasional (IMF). Namun IMF tidak melihat China sengaja melemahkan yuan. Nilai tukar yuan dinilai masih sesuai dengan fundamental ekonomi China, tidak terlalu mahal (over-valued) atau terlalu murah (under-valued). 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Well, mungkin AS cemas juga kalau yuan terus dilemahkan dan produk China tetap bisa leluasa masuk ke pasar Negeri Paman Sam meski kena bea masuk. Oleh karena itu, Trump mengumumkan menunda pemberlakuan bea masuk 10% yang semestinya berlaku pada 1 September menjadi 15 Desember. 


Selepas Trump mengendur, entah kebetulan atau tidak, yuan menguat. China sukses memanfaatkan pelemahan nilai tukar yuan untuk membuat Trump mengalah. Misi tercapai, yuan pun diperkenankan menguat kembali. 

Kemungkinan delegasi AS dan China akan bertemu di Washington pada awal September untuk menggelar dialog dagang. Kalau mentok, tidak ada hasil yang memuaskan, bisa saja China kembali melancarkan serangan dengan melemahkan yuan lagi. 

Sebab, China punya catatan buruk soal manipulasi kurs. Tahun ini bukan kali pertama AS secara resmi mengadukan China ke IMF sebagai manipulator mata uang. 

AS sudah punya undang-undang untuk menindak manipulasi kurs sejak 1988, yaitu Omnibus Foreign and Trade Competitiveness Act. China pernah tersangkut UU ini pada 1992 hingga 1994. 

Jadi walau yuan menguat hari ini, jangan anggap perang mata uang sudah selesai. Sebab China punya jejak rekam dan memang punya kemampuan untuk melakukan manipulasi kurs. 

Baca: Yuan Sengaja Dilemahkan, Siap-siap RI Kebanjiran Barang China


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular