
Cetak Penguatan Lagi, IHSG Siap Menghijau 3 Hari Beruntun?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 August 2019 09:58

Di sisi lain, pelaku pasar patut mencermati kinerja rupiah. Hingga berita ini diturunkan, rupiah memang menguat 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.190/dolar AS. Namun, ada dua sentimen yang bisa menyebabkan rupiah berbalik menjadi terdepresiasi.
Melansir CNBC International, PBOC menetapkan titik tengah yuan pada hari ini di level 7,0136/dolar AS, lebih lemah dibandingkan titik tengah pada perdagangan kemarin (8/8/2019) di level 7,0039/dolar AS. PBOC terus saja melemahkan yuan kala Kementerian Keuangan AS sudah melabeli China dengan julukan “manipulator mata uang”.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, maka produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Dikhawatirkan, langkah dari bank sentral China ini akan membuat AS semakin panas yang pada akhirnya akan berakibat pada kian sulitnya kedua negara untuk meneken kesepakatan dagang.
Faktor kedua yang bisa membuat rupiah melemah adalah rilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dijadwalkan pada hari ini. Bagi yang belum tahu, NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari tanah air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, ada indikator lain yang tak kalah penting, bahkan bisa dibilang lebih penting ketimbang NPI. Indikator tersebut bernama Transaksi Berjalan yang merupakan bagian dari NPI itu sendiri.
Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat Transaksi Berjalan membukukan defisit senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. Defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.
Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018, apalagi jika ternyata CAD kuartal II-2019 juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018.
Jika rupiah pada akhirnya benar berbalik melemah, pasar saham tanah air bisa diterpa tekanan jual dan membuat IHSG finis di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Melansir CNBC International, PBOC menetapkan titik tengah yuan pada hari ini di level 7,0136/dolar AS, lebih lemah dibandingkan titik tengah pada perdagangan kemarin (8/8/2019) di level 7,0039/dolar AS. PBOC terus saja melemahkan yuan kala Kementerian Keuangan AS sudah melabeli China dengan julukan “manipulator mata uang”.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, maka produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Faktor kedua yang bisa membuat rupiah melemah adalah rilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang dijadwalkan pada hari ini. Bagi yang belum tahu, NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari tanah air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, ada indikator lain yang tak kalah penting, bahkan bisa dibilang lebih penting ketimbang NPI. Indikator tersebut bernama Transaksi Berjalan yang merupakan bagian dari NPI itu sendiri.
Transaksi Berjalan menjadi faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat Transaksi Berjalan membukukan defisit senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. Defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.
Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018, apalagi jika ternyata CAD kuartal II-2019 juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018.
Jika rupiah pada akhirnya benar berbalik melemah, pasar saham tanah air bisa diterpa tekanan jual dan membuat IHSG finis di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular