
'Hantu' CAD di Depan Mata, Kok Rupiah Bisa Perkasa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 August 2019 08:50

Mata uang Asia mundur teratur merespons perkembangan hubungan AS-China. Bloomberg mengabarkan, seperti dikutip dari Reuters, AS menunda keputusan untuk memperolehkan perusahaan-perusahaan Negeri Paman Sam berbisnis dengan Huawei, raksasa teknologi asal China.
Padahal sebelumnya Presiden AS Donald Trump sempat memberi angin segar. Selepas pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Osaka pada akhir Juni, Trump memberi isyarat bahwa damai dagang asal China akan melibatkan hubungan antar perusahaan kedua negara.
Baca:
AS-China Sepakat Bernegosiasi, Bagaimana Nasib Huawei?
Namun seiring hubungan AS-China yang memanas sejak akhir pekan lalu, peta permainan berubah. AS berencana menerapkan bea masuk baru bagi impor produk made in China senilai US$ 300 miliar. China seakan 'memainkan' nilai tukar mata uang uang, dilemahkan demi mendongkrak kinerja ekspor dan bisa tetap menembus pasar Negeri Paman Sam. Kini, nasib Huawei pun terkatung-katung.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Aset-aset safe haven masih menjadi preferensi. Terlihat dari penguatan yen Jepang yang masih terus terjadi.
Namun, mengapa rupiah masih bisa menguat? Padahal hari ini ada pula calon sentimen negatif bagi mata uang Tanah Air yaitu rilis data Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kuartal II-2019.
Pos yang akan menjadi sorotan pelaku pasar adalah transaksi berjalan (current account). Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) kuartal II-2019 akan lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Baca:
Ssst.. Ramalan BI Soal CAD Kuartal II Bikin 'Sport Jantung'!
Semestinya ini bisa menjadi sentimen negatif buat rupiah. Sebab transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang (sustainable). Transaksi berjalan yang kokoh akan membuat nilai tukar mata uang lebih stabil, sebaliknya jika masih defisit.
Akan tetapi, sepertinya pelaku pasar pede bahwa rupiah tetap akan stabil (bahkan cenderung menguat) karena derasnya pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money. Hal ini seiring tren kebijakan moneter global yang longgar.
Dalam dua hari terakhir, sudah empat bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu Selandia Baru, India, Thailand, dan Filipina. Tidak hanya di negara-negara tetangga, bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan bulan depan.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan 18 September adalah 74,2%. Sementara peluang penurunan 50 bps adalah 25,8%.
Situasi ini membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga. Imbal hasil (yield) obligasi di negara-negara tersebut akan terus turun, sehingga pasar obligasi Indonesia semakin seksi.
Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,388%. Sementara yield instrumen serupa di India adalah 6,402%, Thailand 1,48%, Filipina 4,465%, dan Selandia Baru 1,12%. Sedangkan US Treasury Bond tenor 10 tahun punya yield 1,6949%.
Jadi, berinvestasi di Indonesia sangat menarik. Cuan gede. Tidak hanya cuan, investasi juga aman seiring kenaikan peringkat utang (rating) Indonesia dari Standard and Poor's dari BBB- menjadi BBB yang diberikan pada akhir Mei lalu.
Oleh karena itu, transaksi berjalan boleh masih defisit. Pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa mungkin masih seret. Namun dari kamar sebelah, transaksi modal dan finansial, sepertinya pasokan devisa masih deras setidaknya dalam waktu dekat. Ini membuat prospek rupiah masih cerah sehingga menarik untuk dikoleksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Padahal sebelumnya Presiden AS Donald Trump sempat memberi angin segar. Selepas pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Osaka pada akhir Juni, Trump memberi isyarat bahwa damai dagang asal China akan melibatkan hubungan antar perusahaan kedua negara.
Baca:
AS-China Sepakat Bernegosiasi, Bagaimana Nasib Huawei?
Perkembangan ini membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Aset-aset safe haven masih menjadi preferensi. Terlihat dari penguatan yen Jepang yang masih terus terjadi.
Namun, mengapa rupiah masih bisa menguat? Padahal hari ini ada pula calon sentimen negatif bagi mata uang Tanah Air yaitu rilis data Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kuartal II-2019.
Pos yang akan menjadi sorotan pelaku pasar adalah transaksi berjalan (current account). Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) kuartal II-2019 akan lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Baca:
Ssst.. Ramalan BI Soal CAD Kuartal II Bikin 'Sport Jantung'!
Semestinya ini bisa menjadi sentimen negatif buat rupiah. Sebab transaksi berjalan mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa yang lebih berjangka panjang (sustainable). Transaksi berjalan yang kokoh akan membuat nilai tukar mata uang lebih stabil, sebaliknya jika masih defisit.
Akan tetapi, sepertinya pelaku pasar pede bahwa rupiah tetap akan stabil (bahkan cenderung menguat) karena derasnya pasokan valas dari portofolio di sektor keuangan alias hot money. Hal ini seiring tren kebijakan moneter global yang longgar.
Dalam dua hari terakhir, sudah empat bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu Selandia Baru, India, Thailand, dan Filipina. Tidak hanya di negara-negara tetangga, bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan bulan depan.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan 18 September adalah 74,2%. Sementara peluang penurunan 50 bps adalah 25,8%.
Situasi ini membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga. Imbal hasil (yield) obligasi di negara-negara tersebut akan terus turun, sehingga pasar obligasi Indonesia semakin seksi.
Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,388%. Sementara yield instrumen serupa di India adalah 6,402%, Thailand 1,48%, Filipina 4,465%, dan Selandia Baru 1,12%. Sedangkan US Treasury Bond tenor 10 tahun punya yield 1,6949%.
Jadi, berinvestasi di Indonesia sangat menarik. Cuan gede. Tidak hanya cuan, investasi juga aman seiring kenaikan peringkat utang (rating) Indonesia dari Standard and Poor's dari BBB- menjadi BBB yang diberikan pada akhir Mei lalu.
Oleh karena itu, transaksi berjalan boleh masih defisit. Pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa mungkin masih seret. Namun dari kamar sebelah, transaksi modal dan finansial, sepertinya pasokan devisa masih deras setidaknya dalam waktu dekat. Ini membuat prospek rupiah masih cerah sehingga menarik untuk dikoleksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular