Ditutup Melesat 1,14%, IHSG Jadi Jawara di Asia

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
08 August 2019 16:39
Ditutup Melesat 1,14%, IHSG Jadi Jawara di Asia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Layaknya kemarin (7/8/2019), pada perdagangan hari ini (8/8/2019) bursa saham acuan Tanah Air tak pernah merasakan pahitnya zona merah.

Sepanjang perdagangan hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selalu anteng di zona hijau dan menutup hari dengan melesat 1,14% menjadi 6.274,67 poin.

Saham-saham yang turut menyokong kinerja IHSG dengan nilai transaksi jumbo kenaikan harga signifikan diantaranya PT Garuda Indonesia Tbk/ GIAA (+17,44%), PT Hotel Mandarine Regency Tbk/HOME (+8,47%), PT indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (+7,87%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+7,39%) dan PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+4,01%).

Lebih lanjut, penguatan yang dicatatkan oleh IHSG juga sejalan dengan performa mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga anteng di zona hijau. Indeks Shanghai menguat 0,93%, indeks Hang Seng menguat 0,48%, indeks Kospi naik 0,57%, indeks Nikkei naik 0,37%.

Hanya indeks Straits Times yang melemah 0,45% dikarenakan rilis data penjualan ritel Juni mengalami kontraksi 8,9% YoY, jauh dibandingkan konsensus pasar yang memproyeksi kenaikan 0,2% secara tahunan, dilansir Trading Economics.

Bursa saham utama Benua Kuning menguat didorong oleh sentimen harapan damai dagang Amerika Serikat (AS) dan China, serta rilis data ekspor terbaru Negeri Tirai Bambu yang cemerlang.

Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow menyatakan Negeri Paman Sam masih menantikan kedatangan delegasi China untuk kelanjutan dialog dagang awal bulan depan.

Selain itu, Kudlow juga menambahkan AS masih terbuka untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk yang dikenakan pada produk impor asal China apabila dialog dagang berjalan mulus.

"Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," ujar Kudlow, dilansir Reuters.

Di lain pihak, rilis data ekonomi terbaru China sedikit memudarkan kecemasan investor bahwa Negeri Tiongkok menghadapi perlambatan ekonomi.

Hal ini dikarenakan, raksasa ekonomi Asia tersebut membukukan pertumbuhan ekspor bulan Juli sebesar 3,3% secara tahunan, dan impor mencatatkan koreksi 5,6% secara tahunan. Sedangkan surplus neraca perdagangan China sebesar US$ 45,06 miliar, dilansir Trading Economics.

Sementara itu, surplus neraca perdagangan China dengan AS turun ke level US$ 27,97 miliar, dari US$29,92 miliar

Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan ekspor China bulan lalu turun 2% YoY, dan impor turun 8,3% YoY.

Dengan demikian, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa aktifitas perdagangan internasional China terus tumbuh, terutama ke negara selain Amerika Serikat.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Bursa saham acuan Indonesia memang berhasil finis di zona hijau, akan tetapi investor tetap perlu waspada terhadap sentimen domestik, terutama rilis data ekonomi. Pasalnya, rilis data ekonomi tersebut berpotensi menekan rupiah, dan mengakibatkan instrumen berbasis rupiah menjadi kurang diminati pelaku pasar.

Hari ini Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan Juni 2019 menyusut 1,8% year-on-year (YoY) menjadi 233,6 poin. Ini merupakan kontraksi IPR pertama sejak Januari 2018 dan laju pertumbuhan terendah sejak Juli 2017 atau nyari dua tahun.

BI menyampaikan bahwa penyebab koreksi IPR bulan Juni dikarenakan normalisasi pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadhan dan perayaan hari raya Idul Fitri.

Lebih lanjut, pelemahan IPR sejatinya sejalan dengan rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 yang melambat dibandingkan kuartal I-2019.

Pada kuartal kemarin, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan. Sedangkan pada kuartal pertama, tercatat sebesar 5,07% YoY.

Lebih lanjut, pelaku pasar juga diharapkan mencermati peluang pelemahan rupiah karena besok BI dijadwalkan akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019.

Pos transaksi berjalan akan menjadi sorotan, terutama setelah BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2019 lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.

Ketika transaksi berjalan defisit, apalagi semakin parah, maka mata uang akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Ini membuat mata uang lebih rentan berfluktuasi, tidak stabil.

Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan sejak 2011. Defisit transaksi berjalan terus menjadi 'hantu' yang membayangi perekonomian nasional, membuat rupiah dalam posisi rawan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular