
Ditutup Melesat 1,14%, IHSG Jadi Jawara di Asia
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
08 August 2019 16:39

Bursa saham acuan Indonesia memang berhasil finis di zona hijau, akan tetapi investor tetap perlu waspada terhadap sentimen domestik, terutama rilis data ekonomi. Pasalnya, rilis data ekonomi tersebut berpotensi menekan rupiah, dan mengakibatkan instrumen berbasis rupiah menjadi kurang diminati pelaku pasar.
Hari ini Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan Juni 2019 menyusut 1,8% year-on-year (YoY) menjadi 233,6 poin. Ini merupakan kontraksi IPR pertama sejak Januari 2018 dan laju pertumbuhan terendah sejak Juli 2017 atau nyari dua tahun.
BI menyampaikan bahwa penyebab koreksi IPR bulan Juni dikarenakan normalisasi pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadhan dan perayaan hari raya Idul Fitri.
Lebih lanjut, pelemahan IPR sejatinya sejalan dengan rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 yang melambat dibandingkan kuartal I-2019.
Pada kuartal kemarin, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan. Sedangkan pada kuartal pertama, tercatat sebesar 5,07% YoY.
Lebih lanjut, pelaku pasar juga diharapkan mencermati peluang pelemahan rupiah karena besok BI dijadwalkan akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019.
Pos transaksi berjalan akan menjadi sorotan, terutama setelah BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2019 lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Ketika transaksi berjalan defisit, apalagi semakin parah, maka mata uang akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Ini membuat mata uang lebih rentan berfluktuasi, tidak stabil.
Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan sejak 2011. Defisit transaksi berjalan terus menjadi 'hantu' yang membayangi perekonomian nasional, membuat rupiah dalam posisi rawan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Hari ini Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan Juni 2019 menyusut 1,8% year-on-year (YoY) menjadi 233,6 poin. Ini merupakan kontraksi IPR pertama sejak Januari 2018 dan laju pertumbuhan terendah sejak Juli 2017 atau nyari dua tahun.
BI menyampaikan bahwa penyebab koreksi IPR bulan Juni dikarenakan normalisasi pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadhan dan perayaan hari raya Idul Fitri.
Pada kuartal kemarin, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan. Sedangkan pada kuartal pertama, tercatat sebesar 5,07% YoY.
Lebih lanjut, pelaku pasar juga diharapkan mencermati peluang pelemahan rupiah karena besok BI dijadwalkan akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019.
Pos transaksi berjalan akan menjadi sorotan, terutama setelah BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2019 lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.
Ketika transaksi berjalan defisit, apalagi semakin parah, maka mata uang akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Ini membuat mata uang lebih rentan berfluktuasi, tidak stabil.
Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan sejak 2011. Defisit transaksi berjalan terus menjadi 'hantu' yang membayangi perekonomian nasional, membuat rupiah dalam posisi rawan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
Pages
Most Popular