
Galau! Rupiah Menguat di Kurs Tengah BI, Tapi Lesu di Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 August 2019 10:34

Sebenarnya ada sentimen positif yang bisa menjadi penopang penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah. Mengutip Reuters, AS dikabarkan siap untuk kembali bernegosiasi dengan China di Washington awal bulan depan.
"Beliau (Presiden AS Donald Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
Bahkan Kudlow mengungkapkan AS siap untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog dagang dengan China membuahkan hasil yang memuaskan. "Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa harapan damai dagang AS-China masih terjaga. Walau jalan menuju ke sana masih panjang, tetapi setidaknya ditapaki.
Akan tetapi, sepertinya investor masih belum terlalu yakin. Masih ada kekhawatiran perang dagang AS-China 'naik kelas' ke tingkat selanjutnya yaitu perang mata uang.
Awal pekan ini, yuan anjlok di kisaran 1% di hadapan greenback dan menembus kisaran CNY 7/US$. Yuan tidak pernah selemah itu sejak Maret 2008, dan bertahan di level tersebut hingga saat ini.
Oleh karena itu, timbul dugaan bahwa China mulai melancarkan perang mata uang. Yuan sengaja dilemahkan agar ekspor China tetap kompetitif dan sebagai sarana untuk menggertak AS.
Ya, akhir pekan lalu AS menebar ancaman akan menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan ini rencananya berlaku mulai 1 September.
Balasan China ternyata lebih pedih. China 'memainkan' nilai tukar yuan agar produk China tetap menarik di pasar global, termasuk di AS. Tidak terima, AS pun bakal mengadukan kelakuan China ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Tampaknya kekhawatiran terhadap perang dagang dan perang mata uang lebih besar ketimbang harapan damai dagang. Hasilnya, pelaku pasar masih lebih memilih menempatkan dana di aset-aset aman (safe haven) dan meninggalkan instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
"Beliau (Presiden AS Donald Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
Bahkan Kudlow mengungkapkan AS siap untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog dagang dengan China membuahkan hasil yang memuaskan. "Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya.
Akan tetapi, sepertinya investor masih belum terlalu yakin. Masih ada kekhawatiran perang dagang AS-China 'naik kelas' ke tingkat selanjutnya yaitu perang mata uang.
Awal pekan ini, yuan anjlok di kisaran 1% di hadapan greenback dan menembus kisaran CNY 7/US$. Yuan tidak pernah selemah itu sejak Maret 2008, dan bertahan di level tersebut hingga saat ini.
Oleh karena itu, timbul dugaan bahwa China mulai melancarkan perang mata uang. Yuan sengaja dilemahkan agar ekspor China tetap kompetitif dan sebagai sarana untuk menggertak AS.
Ya, akhir pekan lalu AS menebar ancaman akan menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan ini rencananya berlaku mulai 1 September.
Balasan China ternyata lebih pedih. China 'memainkan' nilai tukar yuan agar produk China tetap menarik di pasar global, termasuk di AS. Tidak terima, AS pun bakal mengadukan kelakuan China ke Dana Moneter Internasional (IMF).
Tampaknya kekhawatiran terhadap perang dagang dan perang mata uang lebih besar ketimbang harapan damai dagang. Hasilnya, pelaku pasar masih lebih memilih menempatkan dana di aset-aset aman (safe haven) dan meninggalkan instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular