Galau! Rupiah Menguat di Kurs Tengah BI, Tapi Lesu di Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 August 2019 10:34
Galau! Rupiah Menguat di Kurs Tengah BI, Tapi Lesu di Spot
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Derita rupiah di kurs tengah BI selama empat hari beruntun pun berakhir. 

Pada Rabu (7/8/2019), kurs tengah BI atau Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.275. Rupiah menguat 0,48% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Penguatan ini memutus rantai depresiasi rupiah di kurs tengah BI yang terjadi selama empat hari berturut-turut. Selama empat hari tersebut, pelemahan rupiah mencapai 2,27%. 

 

Namun di perdagangan pasar spot, rupiah tidak seberuntung itu. Dibuka menguat, rupiah kini berbalik melemah di hadapan greenback. 

Pada pukul 10:07 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.285. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih mampu menguat 0,07%. Namun kemudian penguatan itu menipis, habis, dan rupiah pun terperosok ke zona merah. 

Namun kalau melihat para tetangganya, depresiasi rupiah bisa dimaklumi. Sebab mayoritas mata uang utama Asia juga tidak berdaya melawan dolar AS. Hanya yen Jepang dan dolar Hong Kong yang masih bisa menguat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:09 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sebenarnya ada sentimen positif yang bisa menjadi penopang penguatan mata uang Asia, termasuk rupiah. Mengutip Reuters, AS dikabarkan siap untuk kembali bernegosiasi dengan China di Washington awal bulan depan. 

"Beliau (Presiden AS Donald Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih. 

Bahkan Kudlow mengungkapkan AS siap untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog dagang dengan China membuahkan hasil yang memuaskan. "Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya. 

Perkembangan ini menunjukkan bahwa harapan damai dagang AS-China masih terjaga. Walau jalan menuju ke sana masih panjang, tetapi setidaknya ditapaki. 


Akan tetapi, sepertinya investor masih belum terlalu yakin. Masih ada kekhawatiran perang dagang AS-China 'naik kelas' ke tingkat selanjutnya yaitu perang mata uang. 

Awal pekan ini, yuan anjlok di kisaran 1% di hadapan greenback dan menembus kisaran CNY 7/US$. Yuan tidak pernah selemah itu sejak Maret 2008, dan bertahan di level tersebut hingga saat ini. 

Oleh karena itu, timbul dugaan bahwa China mulai melancarkan perang mata uang. Yuan sengaja dilemahkan agar ekspor China tetap kompetitif dan sebagai sarana untuk menggertak AS. 

Ya, akhir pekan lalu AS menebar ancaman akan menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar. Kebijakan ini rencananya berlaku mulai 1 September. 

Balasan China ternyata lebih pedih. China 'memainkan' nilai tukar yuan agar produk China tetap menarik di pasar global, termasuk di AS. Tidak terima, AS pun bakal mengadukan kelakuan China ke Dana Moneter Internasional (IMF).  


Tampaknya kekhawatiran terhadap perang dagang dan perang mata uang lebih besar ketimbang harapan damai dagang. Hasilnya, pelaku pasar masih lebih memilih menempatkan dana di aset-aset aman (safe haven) dan meninggalkan instrumen berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular