Newsletter

Legaaa! Akhirnya Ada Kabar Baik untuk Pasar Keuangan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
07 August 2019 06:50
Legaaa! Akhirnya Ada Kabar Baik untuk Pasar Keuangan
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Awan kelabu masih terus membayangi pasar keuangan dalam negeri. Setidaknya hingga kemarin.

Pada penutupan perdagangan Selasa (6/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,91% ke level 6.119,47 dan menandakan pelemahan hari keempat secara beruntun. Jika ditotal, koreksi IHSG dalam empat hari perdagangan terakhir mencapai 4,24%.

Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah melemah 0,07% terhadap dolar AS dan bertengger di posisi Rp 14.260/US$. Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun naik 4,1 basis poin menjadi 7,66%.

Perlu diketahui bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Kala yield naik, artinya harga sedang turun karena marak aksi jual. Berlaku pula sebaliknya.

Panasnya bara perang dagang Amerika Serikat (AS)-China masih menjadi faktor yang membuat investor kabur dari pasar saham Benua Kuning.

Kemarin, China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.

Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.

Langkah yang diambil oleh pemerintah China diambil setelah pada Kamis (1/8/2019) Trump mengumumkan rencana pengenaan bea masuk baru sebesar 10% bagi produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September 2019. Produk-produk tersebut sebelumnya belum terdampak perang dagang.

Lebih parah, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi lebih dari 25%.

Selain itu masih ada pula kekhawatiran akan meletusnya perang mata uang (currency war).

Seperti yang telah diketahui, pada hari Senin (5/8/2019), Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.

AS meradang dan menuding China sebagai manipulator kurs. Bahkan Kementerian Keuangan AS akan membuat laporan resmi ke Dana Moneter Internasional (IMF).

"Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berkoordinasi dengan IMF untuk menghapus kompetisi tidak adil yang dilakukan oleh China. Sebagaimana disebut dalam laporan kepada Kongres, China punya sejarah panjang memfasilitasi pelemahan nilai tukar melalui intervensi dalam skala besar di pasar keuangan. Dalam beberapa hari terakhir, China sudah mengambil langkah konkret untuk mendevaluasi mata uang," papar keterangan tertulis Kementerian Keuangan AS.

Jika kemudian China, AS, dan negara-negara lain melakukan devaluasi mata uang secara kompetitif, maka perang mata uang resmi berlangsung. Tidak ada lagi yang namanya mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya.

Risiko perekonomian yang membuncah akibat kemungkinan eskalasi perang dagang AS-China yang berkelanjutan dan perang mata uang membuat investor asing semakin enggan bermain di aset-aset berisiko.

Hingga akhir sesi perdagangan kemarin, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 2 triliun di pasar reguler.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Tiga indeks utama Wall Street melesat pada penutupan sesi perdagangan hari Selasa (6/8/2019). Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) lompat 1,21%, S&P 500 naik 1,3%, dan Nasdaq Composite melejit 1,3%.

Penguatan bursa saham Wall Street terjadi setelah sehari sebelumnya ditutup dengan pelemahan harian paling tajam di tahun berjalan 2019.

Salah satu faktor penyebab lonjakan di bursa saham Wall Street adalah meredanya kekhawatiran pelaku pasar akan risiko perang mata uang (currency war) yang sempat membuncah sejak perdagangan di awal pekan.

Pada hari Selasa (6/8/2019), Bank Sentral China (People Bank of China) menetapkan nilai tengah kurs yuan sebesar CNY 6,9683/US$ yang mana lebih kuat ketimbang estimasi Reuters yang sebesar CNY 6,9736/US$. Nilai tengah tersebut juga lebih kuat ketimbang penutupan pasar spot hari Senin (5/7/2019) sebesar CNY 7,0458/US$ yang merupakan paling lemah sejak 2008.

Hal tersebut menjadi pertanda bahwa China tidak akan mengambil langkah yang terlalu agresif dalam melemahkan mata uangnya.

"Ini adalah sinyal dari pihak China bahwa mereka ingin menjaga yuan tetap stabil dan meningkat. Tetapi itu juga menunjukkan seberapa cepat hal-hal dapat berubah," ujar Quincy Krosby, analis di Prudential Finansial di New Jersey, seperti dikutip dari Reuters.

Setidaknya dengan begitu, satu risiko perekonomian global dapat diredam. Kemungkinan perang mata uang semakin kecil. Dan walaupun ada, sepertinya tidak akan kasat mata dan terlalu kasar.

Sebelumnya pelaku pasar sempat dibuat takut karena pada hari Senin (5/7/2019) PBOC menetapkan nilai tengah yuan di level CNY 6,922/US$, yang mana melonjak dari posisi penutupan pasar spot akhir pekan lalu (2/8/2019) yang sebesar CNY6,9387/US$ dan merupakan posisi terendah sejak 3 Desember 2018.

Atas tindakan tersebut, pemerintah Amerika Serikat (AS) memberi label 'manipulator mata uang' pada pemerintah China.

Perlu diketahui bahwa di China, otoritas moneter dalam hal ini PBOC dapat menentukan nilai tengah kurs yuan. Hal itu membuat pergerakan kurs dapat diatur dan tidak sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar (permintaan-penawaran).

Sementara itu, investor juga kembali mendapat angin segar dari perkembangan perang dagang AS-China.

Dalam sebuah wawancara dengan CNBC International, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa Presiden AS, Donald Trump, masih ingin melanjutkan dialog dagang dan membuka kemungkinan untuk memberi ruang pada pelonggaran bea impor produk China.

"Kenyataannya adalah kami masih mau untuk melakukan negosiasi. Kami merencanakan untuk mengundang tim negosiator China untuk datang ke mari [Washington] pada bulan September. Segala sesuatu dapat berubah terkait dengan tarif," ujar Kudlow dalam wawancara yang disiarkan dalam program "Squawk on the Street" di CNBC TV.

Pernyataan Kudlow memberi sinyal bahwa dialog dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia masih belum usai dan bisa jadi hasilnya positif.

Sebelumnya Trump telah mengumumkan rencana pengenaan tarif baru sebesar 10% atas produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang sebelumnya tidak terdampak perang dagang dalam sebuah cuitan melalui akun Twitter @realDonaldTrump. Wall Street Journal (WSJ) mengabarkan bahwa cuitan tersebut Trump buat meskipun sebagian besar penasihatnya menentang keputusan penerapan tarif baru.

"Dalam tweet dan percakapannya dengan tim perdagangan, dia [Trump] ingin melanjutkan negosiasi. Dia [Trump] ingin membuat kesepakatan. Itu harus menjadi kesepakatan yang tepat untuk AS. Kami lebih suka transaksi komersial," pungkas Kudlow.

Dengan begitu, investor setidaknya sudah mau kembali masuk ke pasar saham dan akhirnya mendongkrak kinerja Wall Street semalam. Yah, walaupun memang sehabis anjlok cukup dalam, potensi rebound teknikal juga sudah besar.

BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Untuk perdagangan hari Rabu (7/8/2019), ada baiknya investor mencermati beberapa sentimen yang bisa jadi menentukan arah gerak pasar.

Pertama, sentimen perkembangan yang positif dari nasib hubungan dagang AS-China boleh jadi akan menular ke pasar keuangan kawasan Asia, termasuk Indonesia. Pada kenyataannya, masih ada ruang terbuka untuk negosiasi.

Sebelumnya, pelaku pasar sudah ketakutan akan eskalasi perang dagang yang mungkin bisa terjadi secara berkelanjutan.

Pekan lalu, Trump mengancam akan mengenakan tarif baru 10% pada produk China senilai US$ 200 miliar dan masih berencana menaikkan tarif tersebut menjadi lebih dari 25%. Atas ancaman tersebut, China meradang dan mengatakan bahwa perusahaan di negerinya telah berhenti membeli produk-produk agrikultur asal AS.

Tampaknya Trump agak sedikit terpukul oleh langkah yang diambil oleh China. Pasalnya, petani merupakan konstituen penting bagi dirinya yang akan maju dalam pemilu 2020 nanti. Sementara China merupakan salah satu pembeli produk agrikultur AS, yang bisa menjadi ancaman jika status tersebut tiba-tiba lenyap. Apabila petani semakin sengsara karena produknya tidak laku, Trump akan kesulitan untuk memenangkan pemilu.

Ada potensi daya tarik aset-aset berisiko, seperti saham, di Benua Kuning kembali menarik minat investor. Pun di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat sudah melemah dalam empat hari perdagangan secara beruntun. Bila ditotal (4 hari), pelemahan IHSG sudah mencapai 4,24%. Ada ruang yang cukup besar bagi pelaku pasar untuk memanfaatkan momen tersebut.

Namun ada sentimen kedua yang agaknya bisa memberi tekanan pada pasar keuangan dalam negeri. Melansir CNBC Internasional, risiko perceraian Inggris tanpa kesepakatan (No Deal Brexit) semakin meningkat.

Disebutkan bahwa hasil pertemuan antara diplomat senior Inggris dan Uni Eropa di Brussels pekan lalu telah memberi sinyal bahwa No Deal Brexit akan menjadi "skenario dasar" atau yang paling mungkin terjadi.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, pekan lalu, telah mengirim delegasi kepada Uni Eropa dengan pesan yang sangat spesifik. Kecuali Uni Eropa mencabut komitmen kesepakatan perihal Irish backstop, Inggris akan keluar tanpa kesepakatan apapun. Inggris masih bersikukuh untuk tidak membuat batas yang ketat (hard border) antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara.

Pada hari Selasa (6/8/2019), juru bicara pemerintah Inggris mengatakan kepada para wartawan bahwa pihak Uni Eropa tidak membuka ruang untuk negosiasi yang 'segar'.

Menanggapi pernyataan tersebut, pejabat Uni Eropa mengatakan bahwa Inggris, "Tidak memiliki rencana lain,"seperti yang diwartakan The Guardian, dikutip dari CNBC Internasional.

Dalam skenario No Deal Brexit, Bank Sentral Inggris (Bank of England/BOE) mengatakan bahwa kemungkinan Inggris untuk jatuh dalam resesi adalah satu banding tiga.

Jika kejadian, maka dampaknya juga akan meluas ke mana-mana, mengingat Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima di dunia.

Ketiga, hari ini Bank Indonesia akan mengumumkan posisi cadangan devisa Indonesia per akhir bulan Juli 2019. Posisi terakhir yang dibacakan, yaitu Juni, cadangan devisa RI adalah US$ 123,82 miliar yang mana naik dari bulan Mei.

Jika cadangan devisa di bulan Juli meningkat lagi, maka setidaknya bisa meyakinkan pasar bahwa ketersediaan valas dalam negeri masih mumpuni. Nilai tukar rupiah bisa terbantu karenanya.

BERLANJUT KE HALAMAN 4>>> Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
  • Rilis posisi cadangan devisa Indonesia per akhir bulan Juli (tentatif)
  • Rapat umum pemegang saham (RUPS) PT Sumber Energi Andalan Tbk (ITMA) 10.00 WIB

Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pekan ini:

Kamis (8/8/2019)
  • Rilis data transaksi berjalan Jepang periode Juni (06:50 WIB)
  • Rilis data ekspor-impor China periode Juli (10:00 WIB)
  • Rilis data penjualan eceran Indonesia periode Juni (tentatif)
  • Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 27 Juli (19:30 WIB)
Jumat (9/8/2019)
  • Rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II-2019 (06:50 WIB)
  • Rilis data tingkat inflasi China periode (08:30 WIB)
  • Rilis data Indeks Harga Produsen China periode Juli (08:30 WIB)
  • Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 (tentatif)
  • Rilis Indeks Harga Produsen AS periode Juli (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular