Investor Asing Jualan Rp 2 T, IHSG Jatuh 4 Hari Beruntun!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2019 17:09
Investor Asing Jualan Rp 2 T, IHSG Jatuh 4 Hari Beruntun!
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sedih. Itulah kata yang rasanya tepat untuk menggambarkan kinerja pasar saham Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir. Terhitung dalam 4 hari perdagangan terakhir (termasuk pekan lalu), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak pernah mencetak apresiasi.

Pada perdagangan hari ini, Selasa (6/8/2019), indeks saham acuan di Indonesia tersebut melemah 0,91% ke level 6.119,47. Jika ditotal, koreksi IHSG dalam 4 hari perdagangan terakhir mencapai 4,24%.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah pada hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-2%), PT Astra International Tbk/ASII (-2,53%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-4,71%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,98%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-2,36%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga terjebak di zona merah: indeks Nikkei turun 0,65%, indeks Shanghai anjlok 1,56%, indeks Hang Seng jatuh 0,67%, indeks Straits Times terkoreksi 0,74%, dan indeks Kospi terpangkas 1,51%.

Perang dagang AS-China yang kian panas menjadi faktor yang melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Pada hari ini, China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.

Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.

Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.

Seperti yang diketahui, pada hari Kamis (1/8/2019) Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.


"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.

Investor Asing Jualan Rp 2 T, IHSG Jatuh 4 Hari Beruntun!Foto: Wakil Perdana Menteri China Liu He (kiri) bersama Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin (kanan) dan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer (tengah) di Guesthouse Negara Bagian Diaoyutai di Beijing (29/3/2019). (Nicolas Asfouri / Pool via REUTERS)

Belakangan, terungkap bahwa Trump kini sudah 'membabi-buta' jika berbicara mengenai China. Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump tersebut ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya.

Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.

Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.

Kala perang dagang AS-China tereskalasi, bisa dipastikan bahwa laju perekonomian dunia akan mendapatkan tekanan yang signifikan. Maklum, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.


Bagi Indonesia, AS dan China merupakan mitra yang sangat penting dalam urusan ekspor. Dalam periode Januari-Juni 2019, Indonesia tercatat mengekspor produk non-migas senilai US$ 11,4 miliar ke China, terbesar dibandingkan ekspor non-migas ke negara-negara lainnya.

Sementara itu, ekspor non-migas Indonesia ke AS dalam periode yang sama tercatat senilai US$ 8,3 miliar atau yang terbesar kedua setelah China.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan kemarin (5/8/2019) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Sepanjang kuartal II-2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.

Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.

Padahal, pada 3 bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.


Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar terus dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.

BERLANJUT KE HALAMAN TIGA Aksi jual yang dilakukan investor asing berkontribusi besar dalam mendorong kejatuhan IHSG pada hari ini. Hingga akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 2 triliun di pasar saham tanah air (pasar reguler).

Kinerja rupiah yang tak mendukung membuat investor asing berbondong-bondong meninggalkan pasar saham Indonesia. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.260/dolar AS, menandai pelemahan selama empat hari beruntun.

Kala rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual menjadi opsi yang sangat mungkin untuk mereka ambil.

Panasnya bara perang dagang AS-China dan rilis angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan membuat pelaku pasar melego rupiah dan mengalihkannya ke dolar AS selaku safe haven. Selain itu, rupiah juga dilego seiring dengan kekhawatiran terkait dengan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).

Pada hari Jumat (9/8/2019) Bank Indonesia (BI) akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal II-2019, beserta dengan data transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI).


Sebagai informasi, pada tiga bulan pertama tahun 2019 BI mencatat bahwa CAD adalah senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Kalau CAD pada tiga bulan kedua kembali lebih dalam dibandingkan periode yang sama tahun lalu, besar kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam ketimbang 2018. Wajar jika rupiah babak belur pada hari ini.

Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 646,5 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 552,4 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 214,3 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 175,5 miliar), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 106,8 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular