Masih 'Kecanduan' Sama Investor Asing, RI Bisa Apa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 August 2019 09:20
Masih 'Kecanduan' Sama Investor Asing, RI Bisa Apa?
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan pada perdagangan akhir pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, nilai tukar rupiah terdepresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah naik. 

Akhir pekan lalu, IHSG terpangkas 0,65%. Sementara rupiah melemah 0,46% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dan yield surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,2 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga obligasi sedang turun karena maraknya aksi jual. 

Salah satu penyebab nestapa pasar keuangan Indonesia adalah kaburnya investor asing. Di pasar saham, misalnya, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 579,39 miliar. Tidak heran IHSG terkoreksi lumayan dalam. 


Kondisi di pasar obligasi pemerintah lebih pelik lagi. Per 1 Agustus 2019, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 1.018,96 triliun. Rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.



Secara persentase, investor asing di SBN menyumbang hampir 40% tepatnya 39,31%. Jadi, tidak salah kalau dibilang pasar obligasi pemerintah tergantung kepada asing. Persentasenya cukup signifikan.

Apalagi investor yang 'setia' di pasar obligasi hanya minoritas. Dari Rp 1.018,96 triliun kepemilikan asing di SBN, yang dipegang oleh bank sentral hanya 6,95%. Sisanya adalah pelaku pasar yang pergerakannya dimotivasi oleh cuan semata.

Baca:
Menguji 'Kesetiaan' Investor Asing

Rupiah pun ikut melemah karena arus modal keluar (capital outflows) tersebut. Dengan kondisi transaksi berjalan (current account) yang terus saja defisit, memang nasib rupiah sangat bergantung kepada aliran modal di sektor keuangan alias hot money. Begitu hot money minggat, ya rupiah sulit menguat (kecuali ada intervensi dari Bank Indonesia). 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah agar dana-dana asing ini tidak mudah keluar masuk. Misalnya dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) Jilid II, pemerintah memberi insentif berupa pengurangan pajak atas bunga deposito bagi eksportir yang menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan dalam negeri. 

Normalnya, tarif pajak bunga deposito adalah 20%. Namun jika pengusaha menyimpan DHE di perbankan nasional dalam jangka waktu lebih dari enam bulan, maka bakal bebas pajak alias 0%. 

Selain itu, Bank Indonesia juga terus menelurkan instrumen-instrumen baru di pasar uang. Contoh, akhir tahun lalu bank sentral mulai menerbitkan obligasi syariah (sukuk) sendiri yang bertujuan sebagai sarana penempatan dana dan manajemen likuiditas perbankan. Kemudian ada Overnight Index Swap (OIS) yang bisa dimanfaatkan sebagai lindung nilai alias hedging terhadap fluktuasi nilai tukar. 

Namun rasanya berbagai instrumen itu belum cukup. Investor asing masih saja belum terlampau betah berlama-lama di Indonesia, mereka tetap akan keluar kalau ada kesempatan. 



Oleh karena itu, ada dua solusi yang bisa dikedepankan. Pertama, otoritas terkait terus melakukan pendalaman pasar dengan menerbitkan instrumen-instrumen baru di pasar keuangan. Semakin banyak 'wahana' yang bisa dimasuki, diharapkan investor asing betah berada di Indonesia. 

Kedua, mungkin perlu pendekatan yang lebih tegas. Mengubah rezim devisa tentu bukan sebuah opsi yang realistis (setidaknya dalam waktu dekat), tetapi ada cara untuk sedikit 'memaksa' investor asing agar mau tinggal lama di Indonesia. 

Misalnya dengan instrumen perpajakan. Semakin sebentar investor menanamkan modal di Indonesia, maka pajaknya semakin tinggi.

Mekanisme ini dikenal sebagai Tobin Tax. Namun dengan tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global, pengenaan Tobin Tax bisa menjadi diinsentif bagi investor untuk masuk ke pasar Indonesia. 

Mungkin yang bisa menjadi pertimbangan adalah kebalikan dari Tobin Tax (Reverse Tobin Tax). Di sini, semakin lama investor menanamkan modal di Indonesia maka bisa mendapatkan insentif pajak selain pengurangan tarif. 

Baca:
Kajian Lagi, Sri Mulyani Pertimbangkan Tobin Tax Modal Asing

Tanpa terobosan yang 'nendang', apabila mentalitas business as usual terus tinggal, maka ya begini-begini saja. Investor asing masuk-keluar di pasar keuangan yang bisa menyebabkan IHSG, rupiah, dan SBN bak naik kereta malam. Jug-gijag-gijug-gijag-gijug. Guncangan di mana-mana. 

Jadi selagi otoritas terkait terus melahirkan instrumen-instrumen investasi baru, 'kolam' baru, 'wahana' baru, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan pengenaan Reverse Tobin Tax. Kalau ada insentif pajak, semoga investor asing betah bermain di pasar keuangan Indonesia yang masih dangkal ini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular