
Terus Melemah, Rupiah Bisa Tembus Rp 14.200/US$?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2019 08:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Faktor eksternal menjadi penyebab kelesuan mata uang Tanah Air.
Pada Jumat (2/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.160 kala pembukaan pasar. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan, pelemahan rupiah semakin parah. Pada pukul 08:17 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.190 di mana rupiah melemah 0,57%. Jika pelemahan rupiah terus terjadi, maka bukan tidak mungkin dolar AS mencapai level Rp 14.200.
Pagi ini, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah terhadap dolar AS. Namun depresiasi 0,55% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia. 'Gelar' yang disandang sejak kemarin.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:17 WIB:
Kemarin, dolar AS perkasa merespons hasil rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed). Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Penurunan pertama sejak akhir 2008 atau lebih dari satu dekade.
Namun, Powell menyatakan bahwa penurunan ini bukan sebuah awal dari siklus pemangkasan suku bunga acuan. Oleh karena itu, pasar memperkirakan Federal Funds Rate hanya akan diturunkan 25 bps lagi sampai akhir tahun.
Perkembangan ini tentu sangat positif bagi dolar AS. Tanpa pemangkasan suku bunga secara agresif, berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan.
Meski ini terjadi kemarin, sepertinya efek The Fed masih terasa hari ini. Angin segar masih berembus ke arah mata uang Negeri Adidaya.
Selain itu, investor juga semakin bermain aman akibat dinamika terbaru hubungan AS-China. Delegasi AS baru saja tiba dari dialog di Shanghai sejak awal pekan, tetapi langsung dikejutkan oleh ulah Presiden Donald Trump.
"Perwakilan kami baru saja tiba dari China, di mana mereka mengadakan perundingan yang konstruktif menuju kesepakatan dagang. Kami merasa mampu mencapai kesepakatan dengan China tiga bulan lalu, tetapi sayang China memutuskan untuk negosiasi ulang.
"Baru-baru ini, China sepakat untuk membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, tetapi tidak dilakukan. Ditambah lagi, kawan saya Presiden Xi (Jinping) mengatakan akan menghentikan penjualan Fentanyl ke AS - ini tidak akan terjadi - dan banyak orang AS kesusahan!
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," papar Trump dalam sebuah utas (thread) di Twitter.
Pernyataan ini membuat heboh pasar keuangan dunia. Wajar investor cemas. Sebab kelakuan Trump bisa membuat dialog dagang AS-China berisiko kembali mentok seperti Mei lalu.
Apalagi kalau China tidak terima (kemungkinan besar Beijing tidak akan terima), maka aksi balas dendam balik menerapkan bea masuk terhadap produk AS pasti dilakukan. Bukan damai dagang, tetapi perang dagang AS-China akan meletus kembali.
Belum lagi ada kabar kurang sedap dari proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran GBP 2,1 miliar untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa). Anggaran itu akan dipakai untuk fasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri.
No Deal Brexit, meski sudah dipersiapkan, diperkirakan tetap bakal memukul perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Berdagang dengan negara-negara Uni Eropa akan lebih sulit, karena dikenakan bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris.
Dengan posisinya sebagai perekonomian terbesar kelima dunia, masalah di Inggris bisa jadi berdampak sistemik. Arus perdagangan dan investasi global akan terhambat sehingga pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Tiga sentimen tersebut membuat investor memilih bermain aman, enggan mengambil risiko. Salah satu pilihan pelaku pasar adalah dolar AS. Pada pukul 08:27 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Jumat (2/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.160 kala pembukaan pasar. Rupiah melemah 0,35% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan, pelemahan rupiah semakin parah. Pada pukul 08:17 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.190 di mana rupiah melemah 0,57%. Jika pelemahan rupiah terus terjadi, maka bukan tidak mungkin dolar AS mencapai level Rp 14.200.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:17 WIB:
Kemarin, dolar AS perkasa merespons hasil rapat Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed). Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Penurunan pertama sejak akhir 2008 atau lebih dari satu dekade.
Namun, Powell menyatakan bahwa penurunan ini bukan sebuah awal dari siklus pemangkasan suku bunga acuan. Oleh karena itu, pasar memperkirakan Federal Funds Rate hanya akan diturunkan 25 bps lagi sampai akhir tahun.
Perkembangan ini tentu sangat positif bagi dolar AS. Tanpa pemangkasan suku bunga secara agresif, berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan.
Meski ini terjadi kemarin, sepertinya efek The Fed masih terasa hari ini. Angin segar masih berembus ke arah mata uang Negeri Adidaya.
Selain itu, investor juga semakin bermain aman akibat dinamika terbaru hubungan AS-China. Delegasi AS baru saja tiba dari dialog di Shanghai sejak awal pekan, tetapi langsung dikejutkan oleh ulah Presiden Donald Trump.
"Perwakilan kami baru saja tiba dari China, di mana mereka mengadakan perundingan yang konstruktif menuju kesepakatan dagang. Kami merasa mampu mencapai kesepakatan dengan China tiga bulan lalu, tetapi sayang China memutuskan untuk negosiasi ulang.
"Baru-baru ini, China sepakat untuk membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, tetapi tidak dilakukan. Ditambah lagi, kawan saya Presiden Xi (Jinping) mengatakan akan menghentikan penjualan Fentanyl ke AS - ini tidak akan terjadi - dan banyak orang AS kesusahan!
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," papar Trump dalam sebuah utas (thread) di Twitter.
Pernyataan ini membuat heboh pasar keuangan dunia. Wajar investor cemas. Sebab kelakuan Trump bisa membuat dialog dagang AS-China berisiko kembali mentok seperti Mei lalu.
Apalagi kalau China tidak terima (kemungkinan besar Beijing tidak akan terima), maka aksi balas dendam balik menerapkan bea masuk terhadap produk AS pasti dilakukan. Bukan damai dagang, tetapi perang dagang AS-China akan meletus kembali.
Belum lagi ada kabar kurang sedap dari proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran GBP 2,1 miliar untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa). Anggaran itu akan dipakai untuk fasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri.
No Deal Brexit, meski sudah dipersiapkan, diperkirakan tetap bakal memukul perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Berdagang dengan negara-negara Uni Eropa akan lebih sulit, karena dikenakan bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris.
Dengan posisinya sebagai perekonomian terbesar kelima dunia, masalah di Inggris bisa jadi berdampak sistemik. Arus perdagangan dan investasi global akan terhambat sehingga pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Tiga sentimen tersebut membuat investor memilih bermain aman, enggan mengambil risiko. Salah satu pilihan pelaku pasar adalah dolar AS. Pada pukul 08:27 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular