Awas, 'Tsunami' The Fed, Trump, dan Brexit Akan Hantam Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2019 07:55
Awas, 'Tsunami' The Fed, Trump, dan Brexit Akan Hantam Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah di perdagangan pasar spot hari ini, dan sepertinya pelemahan mata uang Tanah Air bakal lumayan dalam. Tanda-tanda depresiasi rupiah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF). 

Berikut kurs dolar AS di pasar NDF jelang penutupan pasar kemarin dibandingkan hari ini, Jumat (2/2/2019), mengutip data Refinitiv:

PeriodeKurs Agustus Juli (15:56 WIB)Kurs 2 Agustus (07:25 WIB)
1 PekanRp 14.027,1Rp 14.140
1 BulanRp 14.187,7Rp 14.335
2 BulanRp 14.258,3Rp 14.420
3 BulanRp 14.322,8Rp 14.475
6 BulanRp 14.510,3Rp 14.670
9 BulanRp 14.676,3Rp 14.844
1 TahunRp 14.845,3Rp 15.025
2 TahunRp 15.500,5Rp 15.470
 
Berikut kurs Domestic NDF (DNDF), yang kali terakhir diperbarui pada 1 Agustus pukul 15:48 WIB: 

PeriodeKurs
1 BulanRp 14.159
3 BulanRp 14.250
 
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.  

Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot. Padahal NDF sebelumnya murni dimainkan oleh investor asing, yang mungkin kurang mendalami kondisi fundamental perekonomian Indonesia. 

Bank Indonesia (BI) pun kemudian membentuk pasar DNDF. Meski tenor yang disediakan belum lengkap, tetapi ke depan diharapkan terus bertambah. 

Dengan begitu, psikologis yang membentuk rupiah di pasar spot diharapkan bisa lebih rasional karena instrumen NDF berada di dalam negeri. Rupiah di pasar spot tidak perlu lalu membebek pasar NDF yang sepenuhnya dibentuk oleh pasar asing. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Hari ini memang ada banjir sentimen negatif di pasar keuangan dunia, yang membuat investor memilih bermain aman dengan 'memeluk' dolar AS. Pertama, masih ada 'basian' dari hasil rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed), yaitu Federal Open Market Committee (FOMC). 

Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Namun, Powell kemudian menegaskan bahwa kebijakan ini bukan awal dari sebuah siklus penurunan suku bunga. 

The Fed yang tidak terlalu agresif membuat berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan. Akibatnya, investor ramai-ramai memborong mata uang Negeri Paman Sam.

 
Kedua, Presiden AS Donald Trump lagi-lagi membuat ulah. Dalam kicauan di Twitter, presiden ke-46 itu menegaskan Washington akan mengenakan bea masuk 10% bagi impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September mendatang. Sebuah langkah yang sangat kontroversial, mengingat perundingan dagang AS-China sedang berlangsung. 

"Perwakilan kami baru saja tiba dari China, di mana mereka mengadakan perundingan yang konstruktif menuju kesepakatan dagang. Kami merasa mampu mencapai kesepakatan dengan China tiga bulan lalu, tetapi sayang China memutuskan untuk negosiasi ulang. 

"Baru-baru ini, China sepakat untuk membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, tetapi tidak dilakukan. Ditambah lagi, kawan saya Presiden Xi (Jinping) mengatakan akan menghentikan penjualan Fentanyl ke AS - ini tidak pernah terjadi - dan banyak orang AS kesusahan! 

"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," papar Trump dalam sebuah utas (thread) di Twitter. 

Pernyataan ini membuat heboh pasar keuangan dunia. Wall Street ditutup anjlok dalam, di mana Dow Jones Industrial Index turun 1,05%, S&P 500 terkoreksi 0,89%, dan Nasdaq Composite minus 0,79%. 


Wajar investor cemas. Sebab kelakuan Trump bisa membuat dialog dagang AS-China berisiko kembali mentok seperti Mei lalu.  

Apalagi kalau China tidak terima (kemungkinan besar Beijing tidak akan terima), maka aksi balas dendam balik menerapkan bea masuk terhadap produk AS pasti dilakukan. Bukan damai dagang, tetapi perang dagang AS-China akan meletus kembali. 

Sentimen ketiga adalah seputar persiapan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Sepertinya peluang ke arah No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) semakin besar. 

Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran GBP 2,1 miliar untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit. Anggaran itu akan dipakai untuk fasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri. 

"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah. 

No Deal Brexit, meski sudah dipersiapkan, diperkirakan tetap bakal memukul perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Berdagang dengan negara-negara Uni Eropa akan lebih sulit, karena dikenakan bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris. 

Dengan posisinya sebagai perekonomian terbesar kelima dunia, masalah di Inggris bisa jadi berdampak sistemik. Arus perdagangan dan investasi global akan terhambat sehingga pertumbuhan ekonomi dunia melambat. 

Berbagai risiko tersebut membayangi pasar keuangan global hari ini. Jadi jangan heran kalau rupiah melemah lumayan dalam hari ini. 

Waspadalah, waspadalah!


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular