
Awas, 'Tsunami' The Fed, Trump, dan Brexit Akan Hantam Rupiah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2019 07:55

Hari ini memang ada banjir sentimen negatif di pasar keuangan dunia, yang membuat investor memilih bermain aman dengan 'memeluk' dolar AS. Pertama, masih ada 'basian' dari hasil rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed), yaitu Federal Open Market Committee (FOMC).
Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Namun, Powell kemudian menegaskan bahwa kebijakan ini bukan awal dari sebuah siklus penurunan suku bunga.
The Fed yang tidak terlalu agresif membuat berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan. Akibatnya, investor ramai-ramai memborong mata uang Negeri Paman Sam.
Kedua, Presiden AS Donald Trump lagi-lagi membuat ulah. Dalam kicauan di Twitter, presiden ke-46 itu menegaskan Washington akan mengenakan bea masuk 10% bagi impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September mendatang. Sebuah langkah yang sangat kontroversial, mengingat perundingan dagang AS-China sedang berlangsung.
"Perwakilan kami baru saja tiba dari China, di mana mereka mengadakan perundingan yang konstruktif menuju kesepakatan dagang. Kami merasa mampu mencapai kesepakatan dengan China tiga bulan lalu, tetapi sayang China memutuskan untuk negosiasi ulang.
"Baru-baru ini, China sepakat untuk membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, tetapi tidak dilakukan. Ditambah lagi, kawan saya Presiden Xi (Jinping) mengatakan akan menghentikan penjualan Fentanyl ke AS - ini tidak pernah terjadi - dan banyak orang AS kesusahan!
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," papar Trump dalam sebuah utas (thread) di Twitter.
Pernyataan ini membuat heboh pasar keuangan dunia. Wall Street ditutup anjlok dalam, di mana Dow Jones Industrial Index turun 1,05%, S&P 500 terkoreksi 0,89%, dan Nasdaq Composite minus 0,79%.
Wajar investor cemas. Sebab kelakuan Trump bisa membuat dialog dagang AS-China berisiko kembali mentok seperti Mei lalu.
Apalagi kalau China tidak terima (kemungkinan besar Beijing tidak akan terima), maka aksi balas dendam balik menerapkan bea masuk terhadap produk AS pasti dilakukan. Bukan damai dagang, tetapi perang dagang AS-China akan meletus kembali.
Sentimen ketiga adalah seputar persiapan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Sepertinya peluang ke arah No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) semakin besar.
Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran GBP 2,1 miliar untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit. Anggaran itu akan dipakai untuk fasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri.
"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah.
No Deal Brexit, meski sudah dipersiapkan, diperkirakan tetap bakal memukul perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Berdagang dengan negara-negara Uni Eropa akan lebih sulit, karena dikenakan bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris.
Dengan posisinya sebagai perekonomian terbesar kelima dunia, masalah di Inggris bisa jadi berdampak sistemik. Arus perdagangan dan investasi global akan terhambat sehingga pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Berbagai risiko tersebut membayangi pasar keuangan global hari ini. Jadi jangan heran kalau rupiah melemah lumayan dalam hari ini.
Waspadalah, waspadalah!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Ketua Jerome 'Jay' Powell dan rekan memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Namun, Powell kemudian menegaskan bahwa kebijakan ini bukan awal dari sebuah siklus penurunan suku bunga.
The Fed yang tidak terlalu agresif membuat berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan. Akibatnya, investor ramai-ramai memborong mata uang Negeri Paman Sam.
Kedua, Presiden AS Donald Trump lagi-lagi membuat ulah. Dalam kicauan di Twitter, presiden ke-46 itu menegaskan Washington akan mengenakan bea masuk 10% bagi impor produk-produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September mendatang. Sebuah langkah yang sangat kontroversial, mengingat perundingan dagang AS-China sedang berlangsung.
"Perwakilan kami baru saja tiba dari China, di mana mereka mengadakan perundingan yang konstruktif menuju kesepakatan dagang. Kami merasa mampu mencapai kesepakatan dengan China tiga bulan lalu, tetapi sayang China memutuskan untuk negosiasi ulang.
"Baru-baru ini, China sepakat untuk membeli produk pertanian AS dalam jumlah besar, tetapi tidak dilakukan. Ditambah lagi, kawan saya Presiden Xi (Jinping) mengatakan akan menghentikan penjualan Fentanyl ke AS - ini tidak pernah terjadi - dan banyak orang AS kesusahan!
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," papar Trump dalam sebuah utas (thread) di Twitter.
Pernyataan ini membuat heboh pasar keuangan dunia. Wall Street ditutup anjlok dalam, di mana Dow Jones Industrial Index turun 1,05%, S&P 500 terkoreksi 0,89%, dan Nasdaq Composite minus 0,79%.
Wajar investor cemas. Sebab kelakuan Trump bisa membuat dialog dagang AS-China berisiko kembali mentok seperti Mei lalu.
Apalagi kalau China tidak terima (kemungkinan besar Beijing tidak akan terima), maka aksi balas dendam balik menerapkan bea masuk terhadap produk AS pasti dilakukan. Bukan damai dagang, tetapi perang dagang AS-China akan meletus kembali.
Sentimen ketiga adalah seputar persiapan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). Sepertinya peluang ke arah No Deal Brexit (Inggris tidak mendapat kompensasi apa-apa) semakin besar.
Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran GBP 2,1 miliar untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit. Anggaran itu akan dipakai untuk fasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri.
"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah.
No Deal Brexit, meski sudah dipersiapkan, diperkirakan tetap bakal memukul perekonomian Negeri Ratu Elizabeth. Berdagang dengan negara-negara Uni Eropa akan lebih sulit, karena dikenakan bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang utama Inggris.
Dengan posisinya sebagai perekonomian terbesar kelima dunia, masalah di Inggris bisa jadi berdampak sistemik. Arus perdagangan dan investasi global akan terhambat sehingga pertumbuhan ekonomi dunia melambat.
Berbagai risiko tersebut membayangi pasar keuangan global hari ini. Jadi jangan heran kalau rupiah melemah lumayan dalam hari ini.
Waspadalah, waspadalah!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular