Holcim Kembali Catatkan Rapor Merah, Ini Sebabnya

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
01 August 2019 17:03
Sepanjang semester pertama tahun ini, Holcim membukukan kerugian Rp 278,51 miliar.
Foto: Dok Semen Indonesia.com
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB), atau dulunya dikenal dengan nama Holcim, masih belum berhasil untuk mencatatkan keuntungan.

Sepanjang semester pertama tahun ini, perusahaan membukukan kerugian Rp 278,51 miliar, menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat Rp 539,27 miliar.

Jika kondisi ini berlanjut hingga akhir tahun, maka selama empat tahun berturut-turut SMCB selalu mencatatkan rapor merah.


Kinerja keuangan dari anak usaha Grup Semen Indonesia ini tertekan seiring dengan penurunan yang dicatatkan pada pos pendapatan, dan kenaikan pada pos beban umum & administrasi, serta beban keuangan.

Hingga akhir Juni 2019, total pendapatan perusahaan turun tipis 2,02% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi Rp 4,52 triliun, dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 4,61 triliun.

Pada dasarnya, indikasi penurunan pendapatan SMCB sudah tercermin dari data penjualan semen yang dirilis oleh Asosiasi Semen Indonesia. Dalam laporannya, pada paruh pertama 2019 volume penjualan semen perusahaan terkoreksi 3,3% YoY menjadi 4,7 juta.

Selain itu, penurunan pendapatan SMCB juga dikarenakan anjloknya pemasokan dari lini usaha jasa konstruksi mencapai -93,93% YoY ke level Rp 13,04 miliar dari sebelumnya Rp 215,06 miliar.

Lebih lanjut, faktor lain yang menekan kinerja laba perusahaan adalah meningkatkan beban umum dan administrasi, terutama pos biaya pemeliharaan data dan sistem. Pos biaya tersebut, melesat 212,51% secara tahunan menjadi Rp 111,87 miliar.

Melansir laporan keuangan perusahaan, biaya pemeliharaan data dan sistem merupakan salah satu biaya yang tercantum dalam Transitional Service and License Agreement (TSLA), antara SMCB dan Holcim Technology untuk periode 1 Februari 2019 hingga 31 Januari 2020.


Total biaya mencapai US$ 16,7 juta atau setara Rp 233,8 miliar (kurs Rp 14.000/US$) yang akan dibebankan secara proporsional selama lima bulan. Jadi, biaya ini tidak akan timbul di tahun berikutnya ketika perjanjian berakhir di bulan Februari 2020.

Sementara itu, beban keuangan perusahaan juga naik cukup signifikan sebesar 39,17% YoY menjadi Rp 424,09 miliar. Peningkatan ini disebabkan dari melesatnya biaya bunga pinjaman, dari Rp 220,57 miliar menjadi Rp 434,02 miliar.

Meroketnya biaya bunga pinjaman wajar terjadi, mengingat pada pos kewajiban jangka panjang total utang pihak ketiga tumbuh lebih dari enam kali lipat (577,05% YoY). Pinjaman jangka panjang kepada pihak ketiga di semester I-2019 tercatat mencapai Rp 7,83 triliun, dari Rp 1,16 triliun di semester I-2018.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(dwa/dwa) Next Article Penjualan Naik 14,31% YoY, Saham SMGR Kok Loyo?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular