'Dikhianati' The Fed, Begini Lesunya Pasar Keuangan Indonesia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 August 2019 11:53
IHSG, Obligasi, & Rupiah Loyo
Foto: Ketua Dewan Federal Reserve AS Jerome Powell berpartisipasi dalam diskusi Economic Club di Washington, AS, 10 Januari 2019. REUTERS / Jim Young
IHSG Melemah Tipis
Hingga berita ini diturunkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditransaksikan melemah 0,07% ke level 6.386,33.

Kekhawatiran bahwa perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing sukses memantik aksi jual di pasar saham Tanah Air. Hard landing menjadi mungkin untuk dialami AS mengingat The Fed tampaknya tak akan memangkas tingkat suku bunga acuannya secara agresif.

Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

Kala AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami hard landing, tentulah perekonomian negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai melemah 0,86%, indeks Hang Seng jatuh 0,76%, dan indeks Straits Times terkoreksi 0,12%. 


Yield Obligasi Bergerak ke Utara
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia seri acuan bergerak ke utara (naik).

Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079).

Pada hari ini, yield obligasi tenor 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun naik masing-masing sebesar 8 bps, 6 bps, 9 bps, dan 5,4 bps. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Ekspektasi bahwa tak akan ada pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara agresif dari The Fed membuat pasar obligasi AS terkoreksi.

Pada perdagangan kemarin (31/7/2019), yield obligasi AS tenor 2 tahun yang paling merepresentasikan kebijakan suku bunga acuan The Fed tercatat naik sebesar 4 bps, dari 1,848% menjadi 1,888%. Melansir CNBC International, yield obligasi AS tenor 2 tahun sempat melejit hingga ke atas level 1,95%.


Kala tingkat suku bunga acuan cenderung berada di level yang tinggi, maka pelaku pasar akan lebih tertarik untuk menanamkan dananya di instrumen deposito sehingga obligasi pun menjadi dilego.

Koreksi pasar obligasi AS pada akhirnya membuat obligasi di tanah air ikut dilego pelaku pasar.

Rupiah Babak Belur
Beralih ke rupiah, mata uang Garuda pada hari ini ‘babak belur. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah hingga 0,59% di pasar spot ke level Rp 14.095/dolar AS, menandai depresiasi terdalam yang dibukukan rupiah semenjak 13 Mei 2019.


Dolar AS memang sedang begitu perkasa, terlihat dari indeks dolar AS yang menguat hingga 0,31%. Sebagai informasi, indeks dolar AS merupakan indeks yang menggambarkan kinerja dolar AS melawan mata uang negara-negara mitra dagang utamanya.

Kala The Fed tak kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, imbal hasil dari instrumen berpendapatan tetap di sana akan berada di level yang relatif tinggi. Akibatnya, aliran modal asing berlarian meninggalkan rupiah dan menyemut di dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular