Top Banget! 'Thomas Lembong Effect' Kembali Hijaukan IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 July 2019 17:25
Top Banget! 'Thomas Lembong Effect' Kembali Hijaukan IHSG
Foto: Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM) Thomas Lembong (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,23% ke level 6.362,11, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghabiskan mayoritas waktunya pada perdagangan hari ini di zona merah. Per akhir sesi satu, koreksi IHSG adalah sebesar 0,26% ke level 6.360,64.

Namun, memasuki sesi dua, IHSG bisa merangsek ke zona hijau walau harus berkali-kali kembali ke zona merah sebelum akhirnya ditutup menguat. Per akhir sesi dua, IHSG menguat 0,21% ke level 6.390,51.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG menguat di antaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+1,28%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+0,7%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,5%), PT Bank Mega Tbk/MEGA (+5,45%), dan PT Barito Pacific Tbk/BRPT (+7,78%).

IHSG sukses menguat kala seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak terjebak di zona merah: indeks Nikkei tercatat turun 0,86%, indeks Shanghai melemah 0,67%, indeks Hang Seng jatuh 1,31%, indeks Straits Times terkoreksi 1,4%, dan indeks Kospi berkurang 0,69%.

Kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan memanas melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, kemarin (30/7/2019) kedua negara menggelar negosiasi dagang di Shanghai. Negosiasi tersebut kemudian berakhir pada hari ini. Namun, melansir Reuters, negosiasi pada hari ini berakhir lebih cepat dari yang dijadwalkan.

Hingga saat ini, belum ada komentar resmi dari kedua delegasi. Patut dicurigai, negosiasi yang berakhir lebih cepat dari jadwal tersebut disebabkan oleh panasnya pihak China dalam merespons serangan dari Presiden AS Donald Trump.

Kemarin, Trump menyerang China dengan mengatakan bahwa China belum membeli produk-produk agrikultur asal AS. Sebagai informasi, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup. Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar.

"Performa perekonomian China sangatlah buruk, terburuk dalam 27 tahun. Seharusnya, China sudah mulai membeli produk agrikultur dari AS - belum ada tanda-tanda bahwa mereka melakukannya. Itulah masalah dengan China, mereka tidak menepati janjinya," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump, Selasa (30/7/2019).

Kecurigaan bahwa serangan Trump menjadi faktor dibalik diakhirinya negosiasi dagang AS-China lebih cepat menjadi sangat realistis, mengingat China sudah mengeluarkan respons yang keras atas serangan Trump tersebut.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa cuitan dari Trump jelas menunjukkan bahwa AS lah yang terus bertindak "maju mundur" dalam negosiasi dagang.
"Saya meyakini bahwasanya pada saat ini, tidak masuk akal bagi AS untuk mengeksekusi rencananya menekan China sekuat tenaga. Tidaklah berguna untuk menyuruh pihak lain meminum obat ketika Anda sendiri yang sedang sakit," tegas Hua, dilansir dari Reuters.

Dikhawatirkan, dalam waktu dekat perang dagang AS-China justru akan tereskalasi. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Lebih lanjut, tekanan bagi bursa saham Asia datang dari kekhawatiran terkait dengan hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Pada tanggal 30 dan 31 Juli waktu setempat, The Fed akan menggelar pertemuan guna menentukan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Hasil dari pertemuan selama dua hari ini akan diumumkan pada tanggal 31 Juli waktu setempat atau Kamis (1/8/2019) dini hari waktu Indonesia.

Saat ini, ekspektasinya adalah The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps, bukan 50 bps. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 31 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan pekan ini adalah sebesar 79,1%.

Sekedar mengingatkan, probabilitas The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pekan ini sempat meroket ke atas 50% pasca John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk “bertindak cepat” di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.

Namun kemudian, pernyataan tersebut kemudian didinginkan oleh Federal Reserve Bank of New York yang menyebut bahwa pernyataan dari Williams tersebut bersifat akademis dan tidak mencerminkan arah kebijakan moneter dari bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut.

Sejatinya, kemarin ada perkembangan baru yang sejatinya bisa membuat peta permainan kembali berubah. Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index diumumkan tumbuh 1,6% secara tahunan pada Juni 2019, di bawah konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv sebesar 1,7%.

Sebagai informasi, dua indikator utama yang diperhatikan The Federal Reserve (The Fed) dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya adalah inflasi dan pasar tenaga kerja. Core PCE price index merupakan acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur inflasi.

Rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi bisa mendongkrak optimisme bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps dalam pertemuan pekan ini. Namun ternyata, sejauh ini pelaku pasar masih meyakini bahwa pemangkasan yang akan dieksekusi oleh The Fed hanyalah sebesar 25 bps.

Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara signifikan, dikhawatirkan perekonomian AS akan mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam. BERLANJUT KE HALAMAN TIGA ‘Thomas Lembong effect’ kembali hadir menjadi penyelamat bagi bursa saham tanah air. Kemarin, ‘Thomas Lembong effect’ membuat IHSG melejit hingga 1,24%.

Kemarin, Thomas Lembong selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) beserta dengan koleganya mengumumkan angka realisasi investasi. Realisasi investasi yang dimaksud di sini bukanlah investasi di pasar modal, melainkan investasi riil.

Pada tiga bulan kedua tahun ini, BKPM mencatat bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.


Bagi Indonesia, memang yang terpenting itu adalah PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Jika mundur lebih jauh, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.

Lantas, bangkitnya realisasi PMA pada kuartal II-2019 jelas menjadi kabar baik bagi Indonesia, walaupun sejatinya ada hal lain yang perlu diperhatikan kala menilai realisasi PMA.

Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat senilai Rp 95,6 triliun, naik 18,61% YoY. Sementara itu, realisasi PMA tercatat senilai Rp 104,9 triliun atau naik 9,61% YoY, seperti yang sudah disebutkan di atas.

Jika ditotal, realisasi investasi (PMDN dan PMA) pada kuartal II-2019 adalah senilai Rp 200,5 triliun atau tumbuh 13,7% jika dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang senilai Rp 176,3 triliun.

Lembong menyebut bahwa prospek realisasi investasi kedepannya sangatlah positif, berbeda dengan tahun lalu. “Tapi khusus indonesia saya optimis tren sekarang ini lagi positif dan prospek ke depan sangat positif. Jadi 180 derajat kontras dengan tahun lalu yg sangat sulit, (pertumbuhan) investasi melambat (menjadi) single digit,” kata Lembong di Gedung BKPM, Selasa (30/7/2019).

Lembong pun dengan optimistis mengatakan bahwa PMDN dan PMA akan membukukan pertumbuhan hingga dua digit pada tahun 2019.

“PMA minus 9% (tahun lalu), tahun ini kembali pulih pertumbuhannya positif dan saya pertahankan prediksi di 2019 full year PMA dan PMDN akan kembali ke tingkat pertumbuhan double digit.”

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular