Mata Uang Negara Asia Menguat, Rupiah Malah Lesu

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 July 2019 13:30
Mata Uang Negara Asia Menguat, Rupiah Malah Lesu
Foto: Ilustrasi Dollar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka flat di level Rp 14.015/dolar AS, rupiah berangsur-angsur bergerak ke zona depresiasi. Hingga pukul 13:00 WIB, rupiah ditransaksikan melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.025/dolar AS. Jika depresiasi rupiah bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menjadi pelemahan ketiga secara beruntun.

Menyedihkan, rupiah melemah kala mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya ditransaksikan menguat melawan dolar AS. Jika dibandingkan dengan yang sama-sama melemah pun, depresiasi sebesar 0,07% yang dicatatkan rupiah menjadi yang terdalam.



Bensin bagi dolar AS untuk menguat melawan mata uang negara-negara Asia tampak sudah habis. Pasca kemarin (29/7/2019) berhasil menaklukkan mata uang negara-negara Asia, kini greenback justru dipukul mundur.

Pelaku pasar tampaknya sudah selesai melakukan price-in atas hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang akan digelar pada tanggal 30 dan 31 Juli waktu setempat.

Sekedar mengingatkan, probabilitas The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pekan ini sempat meroket ke atas 50%. Belum lama ini, John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.

"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.

Namun, pernyataan tersebut kemudian didinginkan oleh Federal Reserve Bank of New York yang menyebut bahwa pernyataan dari Williams tersebut bersifat akademis dan tidak mencerminkan arah kebijakan moneter dari bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut.

Kini, ekspektasi yang ada justru adalah The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 30 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan pekan ini adalah sebesar 73,9%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 26,1%.

Sudah dalam beberapa waktu terakhir, probabilitasnya menunjukkan bahwa pelaku pasar meyakini pemangkasan yang akan dieksekusi The Fed pada pekan ini hanyalah sebesar 25 bps, bukan 50 bps.

Sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia juga memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan pekan ini.


Nah, hal ini tampak sudah selesai diprice-in oleh pelaku pasar, sehingga kini greenback keok melawan mata uang negara-negara Asia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>>>


Sayang, rupiah tak bisa mengekor kinerja mata uang negara-negara tetangga yang terbilang oke. Penyebabnya, indeks dolar AS sejatinya sedang perkasa. Hingga berita ini diturunkan, indeks dolar AS ditransaksikan menguat 0,13%. Sebagai informasi, indeks dolar AS merupakan indeks yang menggambarkan kinerja dolar AS melawan mata uang negara-negara mitra dagang utamanya.

Indeks dolar AS melejit seiring dengan kinerja greenback yang sangat oke melawan poundsterling. Hingga berita ini diturunkan, dolar AS menguat hingga 0,7% melawan poundsterling di pasar spot.


Perkasanya indeks dolar AS pun memberikan energi bagi greenback untuk kemudian menaklukan rupiah. Apalagi, pelaku pasar masih cemas menantikan rilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal II-2019 pada pekan depan. Rilis data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target para ekonom pada tiga bulan pertama tahun ini. Untuk periode kuartal I-2019, Badan Pusat Statitik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi, tentu pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengecewakan. Asal tahu saja, pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%.

Sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Sejatinya, ada rilis data ekonomi Indonesia yang menggembirakan. Pada hari ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis angka realisasi investasi. Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.

Bagi Indonesia, yang terpenting itu memang PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Namun, rilis angka realisasi PMA yang melegakan tersebut belum bisa membuat rupiah menaklukan dolar AS. Sebabnya ya itu, dolar AS memang memiliki amunisi untuk mengalahkan rupiah (dari perkasanya indeks dolar AS) dan pelaku pasar juga grogi dalam menantikan rilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal II-2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular