Catat! Ini 5 Kerugian Krakatau Steel di Pabrik Blast Furnace

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
25 July 2019 12:28
Catat! Ini 5 Kerugian Krakatau Steel di Pabrik Blast Furnace
Foto: cover topik/krakatau steel luar/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) kembali melanjutkan koreksi pada perdagangan Kamis ini (25/7/2019) setelah kisruh ketidaksepakatan pendapatan (dissenting opinion) terkait proyek Blast Furnace mengemuka dan membuat salah satu dewan komisaris KRAS, Roy Maningkas, akhirnya memilih mengundurkan diri.

Roy berpendapatan bahwa proyek tersebut sebaiknya tidak dilanjutkan karena berpotensi rugi besar.

Namun Direktur Utama KRAS Silmy Karim menegaskan bahwa untuk membuktikan kebenaran potensi kerugian, perlu dilakukan performance test agar dapat dilihat apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS/studi kelayakan) atau tidak.

Pada penutupan perdagangan Kamis ini, harga saham KRAS anjlok 1,08% di level Rp 366/saham, sedangkan dalam satu minggu terakhir harga saham perusahaan sudah terkoreksi 5,67%.


Sejatinya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace diinisiasi perusahaan untuk membantu menurunkan biaya produksi, terutama konsumsi energi listrik dan biaya bahan baku pembuatan baja (steelmaking). Untuk diketahui saat ini KRAS masih mengimpor seluruh kebutuhan bahan baku iron ore pellet (bijih besi).

Kontrak pembangunan komplek pabrik dengan sistem Blast Furnace diteken pada tanggal 15 November 2011 dengan konsorsium kontraktor lokal PT Krakatau Engineering (PT KE) dan kontraktor luar, yaitu Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC-CERI).

Total biaya kontrak yang ditandatangani sebesar US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI dan Rp 1,81 triliun untuk PT KE. Jadi jika ditotal biayanya mencapai RP 6,5 triliun (asumsi RP 14.000/US$).

Sebagai informasi Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.

Proyek pembangunan Blast Furnace Complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton hot metal dan pig iron per tahun.

Awalnya, pabrik Blast Furnace ditargetkan beroperasi di tahun 2015, namun baru di tahun 2019 pabrik selesai dibangun, itu pun belum dapat beroperasi secara komersial.

Keterlambatan pengoperasian telah banyak menimbulkan kerugian materil bagi perusahaan. Belum lagi potensi kerugian yang dapat diakibatkan dari kurang efisiennya pengoperasian pabrik tersebut.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Keterlambatan penyelesaian proyek Blast Furnace memberikan banyak dampak negatif kepada perusahaan, selain membengkaknya biaya.

Berikut adalah rentetan kerugian yang ditimbulkan proyek tersebut.

1. Biaya Proyek Membengkak Rp 3,53 T
Melansir laporan tahunan perusahaan tahun 2018, disebutkan bahwa total biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunan komplek tersebut mencapai US$ 716,1 juta atau setara Rp 10,03 triliun.

Ini berarti ada pembengkakan biaya hingga Rp 3,53 triliun dari rencana awal yang hanya Rp 6,5 triliun (berdasarkan nilai kontrak di tahun 2011).

2. Utang Jangka Pendek Bertambah Rp 2,91 T
Selain itu, KRAS juga mencatat kenaikan liabilitas jangka pendek disebabkan oleh naiknya pinjaman bank jangka pendek sebesar US$ 298,07 juta atau setara Rp 2,91 triliun seiring dengan peningkatan kebutuhan modal kerja dalam rangka persiapan operasi pabrik.

3. Tidak Ada Program Pengembangan SDM
Dalam laporan tahunan 2018 juga disebutkan perusahaan juga sama sekali tidak melakukan program pengembangan SDM atau talent. Hal ini dikarenakan prioritas utama adalah pemenuhan tenaga kerja untuk mendukung beroperasinya pabrik.

Sebagai informasi dengan beroperasinya pabrik blast furnace perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja minimal sebanyak 5.900 orang pada tahun 2022.

4. Gugatan dari Pemasok Mencapai Rp 2,81 T
Proyek tersebut juga sempat digugat oleh PT Krakatau Semator pada tanggal 9 Maret 2018 dengan alasan KRAS gagal menyampaikan tanggal kebutuhan gas industri untuk kebutuhan ramp up pabrik Blast Furnace.

Dalam laporan keuangan kuartal I-2019 tercatat gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Serang dalam perkara No. 27/Pdt.G/2018/PN.Srg, dimana total kerugian yang diminta dalam gugatan mencapai Rp 2,81 triliun.

5. Potensi Kerugian dari Mahalnya Biaya Produksi Sebesar Rp 1,38 T
Masih ada potensi kerugian yang akan muncul saat pabrik mulai beroperasi secara komersil.

Komisaris KRAS, Roy Maningkas, mengungkapkan bahwa proyek Blast Furnace itu bisa membuat perusahaan merugi hingga Rp 1,17- 1,38 triliun per tahun (US$ 85-96 juta). Pasalnya, harga pokok produksi dari Blast Furnace justru menjadi lebih mahal, otomatis harga produk pun akan lebih mahal di pasaran.

"Saya menghitung harga pokok produksi akan lebih mahal sekitar US$ 70-82 per ton. Kalau kapasitasnya 1,2 juta ton kan besar sekali kerugiannya," kata Roy kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/07/2019).

Di lain pihak, keputusan Direktur Utama KRAS, Silmy Karim, untuk melakukan proses uji coba dalam 2 bulan ke depan, juga dinilai Roy cukup dipaksakan. Hal ini dikarenakan dalam kontrak tercatat minimal pengujian 6 bulan.

Pengujian 2 bulan diputuskan karena saat ini KRAS hanya memiliki pasokan bahan baku untuk kurun waktu 2 bulan.

Asal Mula Proyek Blast Furnace & Rentetan Kerugian KRASFoto: Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim (CNBC Indonesia/Anastasia Arvirianty)

Namun Silmy menegaskan, ketika memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018, dia sudah menemui banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel. Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya proyek Blast Furnace.


"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).

Dia menegaskan dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study atau tidak.

"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.

"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah," tegasnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular