Catat! Ini 5 Kerugian Krakatau Steel di Pabrik Blast Furnace
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
25 July 2019 12:28

Keterlambatan penyelesaian proyek Blast Furnace memberikan banyak dampak negatif kepada perusahaan, selain membengkaknya biaya.
Berikut adalah rentetan kerugian yang ditimbulkan proyek tersebut.
1. Biaya Proyek Membengkak Rp 3,53 T
Melansir laporan tahunan perusahaan tahun 2018, disebutkan bahwa total biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunan komplek tersebut mencapai US$ 716,1 juta atau setara Rp 10,03 triliun.
Ini berarti ada pembengkakan biaya hingga Rp 3,53 triliun dari rencana awal yang hanya Rp 6,5 triliun (berdasarkan nilai kontrak di tahun 2011).
2. Utang Jangka Pendek Bertambah Rp 2,91 T
Selain itu, KRAS juga mencatat kenaikan liabilitas jangka pendek disebabkan oleh naiknya pinjaman bank jangka pendek sebesar US$ 298,07 juta atau setara Rp 2,91 triliun seiring dengan peningkatan kebutuhan modal kerja dalam rangka persiapan operasi pabrik.
3. Tidak Ada Program Pengembangan SDM
Dalam laporan tahunan 2018 juga disebutkan perusahaan juga sama sekali tidak melakukan program pengembangan SDM atau talent. Hal ini dikarenakan prioritas utama adalah pemenuhan tenaga kerja untuk mendukung beroperasinya pabrik.
Sebagai informasi dengan beroperasinya pabrik blast furnace perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja minimal sebanyak 5.900 orang pada tahun 2022.
4. Gugatan dari Pemasok Mencapai Rp 2,81 T
Proyek tersebut juga sempat digugat oleh PT Krakatau Semator pada tanggal 9 Maret 2018 dengan alasan KRAS gagal menyampaikan tanggal kebutuhan gas industri untuk kebutuhan ramp up pabrik Blast Furnace.
Dalam laporan keuangan kuartal I-2019 tercatat gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Serang dalam perkara No. 27/Pdt.G/2018/PN.Srg, dimana total kerugian yang diminta dalam gugatan mencapai Rp 2,81 triliun.
5. Potensi Kerugian dari Mahalnya Biaya Produksi Sebesar Rp 1,38 T
Masih ada potensi kerugian yang akan muncul saat pabrik mulai beroperasi secara komersil.
Komisaris KRAS, Roy Maningkas, mengungkapkan bahwa proyek Blast Furnace itu bisa membuat perusahaan merugi hingga Rp 1,17- 1,38 triliun per tahun (US$ 85-96 juta). Pasalnya, harga pokok produksi dari Blast Furnace justru menjadi lebih mahal, otomatis harga produk pun akan lebih mahal di pasaran.
"Saya menghitung harga pokok produksi akan lebih mahal sekitar US$ 70-82 per ton. Kalau kapasitasnya 1,2 juta ton kan besar sekali kerugiannya," kata Roy kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/07/2019).
Di lain pihak, keputusan Direktur Utama KRAS, Silmy Karim, untuk melakukan proses uji coba dalam 2 bulan ke depan, juga dinilai Roy cukup dipaksakan. Hal ini dikarenakan dalam kontrak tercatat minimal pengujian 6 bulan.
Pengujian 2 bulan diputuskan karena saat ini KRAS hanya memiliki pasokan bahan baku untuk kurun waktu 2 bulan.
Namun Silmy menegaskan, ketika memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018, dia sudah menemui banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel. Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study atau tidak.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah," tegasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/tas)
Berikut adalah rentetan kerugian yang ditimbulkan proyek tersebut.
1. Biaya Proyek Membengkak Rp 3,53 T
Melansir laporan tahunan perusahaan tahun 2018, disebutkan bahwa total biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunan komplek tersebut mencapai US$ 716,1 juta atau setara Rp 10,03 triliun.
2. Utang Jangka Pendek Bertambah Rp 2,91 T
Selain itu, KRAS juga mencatat kenaikan liabilitas jangka pendek disebabkan oleh naiknya pinjaman bank jangka pendek sebesar US$ 298,07 juta atau setara Rp 2,91 triliun seiring dengan peningkatan kebutuhan modal kerja dalam rangka persiapan operasi pabrik.
3. Tidak Ada Program Pengembangan SDM
Dalam laporan tahunan 2018 juga disebutkan perusahaan juga sama sekali tidak melakukan program pengembangan SDM atau talent. Hal ini dikarenakan prioritas utama adalah pemenuhan tenaga kerja untuk mendukung beroperasinya pabrik.
Sebagai informasi dengan beroperasinya pabrik blast furnace perusahaan akan membutuhkan tenaga kerja minimal sebanyak 5.900 orang pada tahun 2022.
4. Gugatan dari Pemasok Mencapai Rp 2,81 T
Proyek tersebut juga sempat digugat oleh PT Krakatau Semator pada tanggal 9 Maret 2018 dengan alasan KRAS gagal menyampaikan tanggal kebutuhan gas industri untuk kebutuhan ramp up pabrik Blast Furnace.
Dalam laporan keuangan kuartal I-2019 tercatat gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Negeri Serang dalam perkara No. 27/Pdt.G/2018/PN.Srg, dimana total kerugian yang diminta dalam gugatan mencapai Rp 2,81 triliun.
5. Potensi Kerugian dari Mahalnya Biaya Produksi Sebesar Rp 1,38 T
Masih ada potensi kerugian yang akan muncul saat pabrik mulai beroperasi secara komersil.
Komisaris KRAS, Roy Maningkas, mengungkapkan bahwa proyek Blast Furnace itu bisa membuat perusahaan merugi hingga Rp 1,17- 1,38 triliun per tahun (US$ 85-96 juta). Pasalnya, harga pokok produksi dari Blast Furnace justru menjadi lebih mahal, otomatis harga produk pun akan lebih mahal di pasaran.
"Saya menghitung harga pokok produksi akan lebih mahal sekitar US$ 70-82 per ton. Kalau kapasitasnya 1,2 juta ton kan besar sekali kerugiannya," kata Roy kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/07/2019).
Di lain pihak, keputusan Direktur Utama KRAS, Silmy Karim, untuk melakukan proses uji coba dalam 2 bulan ke depan, juga dinilai Roy cukup dipaksakan. Hal ini dikarenakan dalam kontrak tercatat minimal pengujian 6 bulan.
Pengujian 2 bulan diputuskan karena saat ini KRAS hanya memiliki pasokan bahan baku untuk kurun waktu 2 bulan.
![]() |
Namun Silmy menegaskan, ketika memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018, dia sudah menemui banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel. Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study atau tidak.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah," tegasnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/tas)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular