
Nasib Krakatau Steel: Dijarah Habis-habisan dan Jadi Bonsai
Chandra Gian Asmara & Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
25 July 2019 06:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Roy Edison Maningkas yang menyatakan mundur dari jabatan itu menuai polemik. Di saat yang sama, sejumlah persoalan di dalam tubuh produsen baja nasional terbesar itu mulai terkuak ke permukaan.
Saat wawancara eksklusif dengan CNBC Indonesia, Roy mengungkapkan bahwa kondisi perusahaan yang dalam tujuh tahun terus merugi dan ditambah dengan persoalan utang yang membengkak.
"Utang Rp 30 triliun, perusahaan ini sudah dijarah habis-habisan, saya masuk [2015] ini sudah dijarah habis-habisan," kata Roy dalam talkshow Squawk Box CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Sebetulnya, Roy sudah menyampaikan pengunduran diri pada 11 Juli lalu dan akan berlaku efektif pada 11 Agustus mendatang. Ada beberapa faktor yang membuatnya mundur dari kursi komisaris. Salah satunya Krakatau Steel bisa mengalami potensi kerugian hingga Rp 1,3 triliun per tahun.
Selain itu, Roy menjelaskan pengunduran dirinya didasari oleh pengujian Blast Furnace dipaksakan untuk selesai dalam dua bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam dua bulan. Sementara dalam kontrak minimal enam bulan pengujian.
Persiapan operasi Project Blast Furnace (proyek yang akan menghasilkan hot metal) Krakatau Steel dimulai sejak 2011. Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan Krakatau Steel sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.
Dia juga menilai Kementerian BUMN, kementerian yang menugaskan dirinya di KRAS, justru merasa kurang nyaman dengan apa yang diungkapkan Roy terkait kondisi perusahaan.
"Kementerian BUMN seolah-olah tidak happy, padahal saya ditugaskan Kementerian BUMN untuk mengawasi perusahaan. Loh ini ada yang enggak beres, tapi malah apa yang saya sampaikan mereka tidak nyaman," tegasnya.
"Surat saya juga dijawab pakai WhatsApp, saya rasa enggak etis seperti itu," kata Roy yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang juga Anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden ini.
Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar.
Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 senilai US$ 1,36 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan utang jangka panjang sebesar US$ 899,43 juta.
Roy menegaskan persoalan perusahaan saat ini di bawah kendali Silmy Karim sebagai Direktur Utama KRAS ialah bagaimana memperbaiki ke depan dan tidak menambah masalah baru.
"Jadi KS ini jadi seperti bonsai, ada kepentingan yang bermain."
Sementara itu, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan kondisi Krakatau Steel baik-baik saja. Rini mengklaim kondisi BUMN itu sudah jauh lebih baik saat ini, meskipun tak memungkiri diperlukan adanya perbaikan internal di Krakatau Steel.
"Direksinya ada, dewan komisarisnya, mereka sudah melakukan banyak hal perbaikan, tadinya proyeknya terhenti bisa diselesaikan, rekstrukturisasi utang juga diselesaikan," tegas Rini di Istana Kepresidenan, Bogor hari ini.
Rini mengaku sama sekali belum mengetahui kabar pengunduran diri tersebut, meskipun kabar ini sudah tersebar luas di masyarakat.
"Belum. Belum sama sekali. Ini kan komisaris. Kalau dia mau nulis, tapi saya belum terima. Jadi saya belum tahu. Jadi bicara dengan deputi. Saya belum dapat kabar," kata Rini.
Menanggapi pernyataan Roy, Direktur Utama KRAS Silmy Karim yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.
Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow Closing Bell di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan, dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS/studi kelayakan) atau tidak.
Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga. Dengan begitu bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai tiga bulan operasi atau satu tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih sistem lama," lanjut Silmy.
(hps/miq) Next Article Sah! Purwono Widodo Diangkat Jadi Dirut Krakatau Steel (KRAS)
Saat wawancara eksklusif dengan CNBC Indonesia, Roy mengungkapkan bahwa kondisi perusahaan yang dalam tujuh tahun terus merugi dan ditambah dengan persoalan utang yang membengkak.
"Utang Rp 30 triliun, perusahaan ini sudah dijarah habis-habisan, saya masuk [2015] ini sudah dijarah habis-habisan," kata Roy dalam talkshow Squawk Box CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Sebetulnya, Roy sudah menyampaikan pengunduran diri pada 11 Juli lalu dan akan berlaku efektif pada 11 Agustus mendatang. Ada beberapa faktor yang membuatnya mundur dari kursi komisaris. Salah satunya Krakatau Steel bisa mengalami potensi kerugian hingga Rp 1,3 triliun per tahun.
Selain itu, Roy menjelaskan pengunduran dirinya didasari oleh pengujian Blast Furnace dipaksakan untuk selesai dalam dua bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam dua bulan. Sementara dalam kontrak minimal enam bulan pengujian.
Persiapan operasi Project Blast Furnace (proyek yang akan menghasilkan hot metal) Krakatau Steel dimulai sejak 2011. Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan Krakatau Steel sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.
Dia juga menilai Kementerian BUMN, kementerian yang menugaskan dirinya di KRAS, justru merasa kurang nyaman dengan apa yang diungkapkan Roy terkait kondisi perusahaan.
"Kementerian BUMN seolah-olah tidak happy, padahal saya ditugaskan Kementerian BUMN untuk mengawasi perusahaan. Loh ini ada yang enggak beres, tapi malah apa yang saya sampaikan mereka tidak nyaman," tegasnya.
"Surat saya juga dijawab pakai WhatsApp, saya rasa enggak etis seperti itu," kata Roy yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang juga Anggota Barisan Relawan Jokowi Presiden ini.
Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar atau sekitar Rp 35 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$), naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar.
Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 senilai US$ 1,36 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan utang jangka panjang sebesar US$ 899,43 juta.
Roy menegaskan persoalan perusahaan saat ini di bawah kendali Silmy Karim sebagai Direktur Utama KRAS ialah bagaimana memperbaiki ke depan dan tidak menambah masalah baru.
"Jadi KS ini jadi seperti bonsai, ada kepentingan yang bermain."
"Direksinya ada, dewan komisarisnya, mereka sudah melakukan banyak hal perbaikan, tadinya proyeknya terhenti bisa diselesaikan, rekstrukturisasi utang juga diselesaikan," tegas Rini di Istana Kepresidenan, Bogor hari ini.
Rini mengaku sama sekali belum mengetahui kabar pengunduran diri tersebut, meskipun kabar ini sudah tersebar luas di masyarakat.
"Belum. Belum sama sekali. Ini kan komisaris. Kalau dia mau nulis, tapi saya belum terima. Jadi saya belum tahu. Jadi bicara dengan deputi. Saya belum dapat kabar," kata Rini.
Menanggapi pernyataan Roy, Direktur Utama KRAS Silmy Karim yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.
Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow Closing Bell di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan, dengan adanya performance test itu akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS/studi kelayakan) atau tidak.
Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga. Dengan begitu bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai tiga bulan operasi atau satu tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih sistem lama," lanjut Silmy.
(hps/miq) Next Article Sah! Purwono Widodo Diangkat Jadi Dirut Krakatau Steel (KRAS)
Most Popular