
Tak Kuat Lawan Polemik Blast Furnace, Saham KRAS Rontok 4%
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
24 July 2019 16:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak kuat hadapi polemik Proyek Blast Furnace, harga saham PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) terkapar pada saat penutupan perdagangan Rabu ini (24/7/2019).
Kisruh soal pabrik baja dengan teknologi Blast Furnace yang membuat salah satu komisaris menyatakan mundur, menjadi sentimen negatif bagi saham Krakatau Steel sejak pagi.
Saat penutupan perdagangan hari ini, harga saham Krakatau Steel anjlok 4,15% ke level Rp 370/saham. Volume perdagangan saham tercatat sebesar 12,40 juta saham senilai Rp 4,65 miliar.
Sentimen negatif datang dari pernyataan Komisaris Independen KRAS Roy Maningkas yang mengajukan pengunduran diri pada 11 Juli dan akan berlaku efektif pada 11 Agustus mendatang.
Ada beberapa faktor yang membuat Roy mundur dari kursi komisaris. Salah satunya Krakatau Steel bisa mengalami potensi kerugian hingga Rp 1,3 triliun per tahun.
Kerugian tersebut bisa terjadi karena pengujian Blast Furnace dipaksakan untuk selesai dalam 2 bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam 2 bulan, sementara dalam kontrak minimal 6 bulan pengujian.
Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.
Proyek pembangunan Blast Furnace Complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta ton baja per tahun.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menegaskan proyek pabrik baja dengan teknologi Blast Furnace harus dilanjutkan. Meski proyek ini memicu perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari komisaris independen Roy Maningkas yang akhirnya memutuskan mengundurkan diri.
Proyek ini dimulai sejak 2011 (sebelum Silmy masuk pada September 2018). Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan KRAS sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.
Menanggapi ini, Direktur Utama KRAS Silmy Karim yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.
Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Dia menegaskan dengan adanya performance test atas proyek itu, maka nanti akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS, studi kelayakan) atau tidak.
Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga sehingga bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai 3 bulan operasi atau 1 tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih masih sistem lama."
(hps/tas) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Kisruh soal pabrik baja dengan teknologi Blast Furnace yang membuat salah satu komisaris menyatakan mundur, menjadi sentimen negatif bagi saham Krakatau Steel sejak pagi.
Saat penutupan perdagangan hari ini, harga saham Krakatau Steel anjlok 4,15% ke level Rp 370/saham. Volume perdagangan saham tercatat sebesar 12,40 juta saham senilai Rp 4,65 miliar.
Sentimen negatif datang dari pernyataan Komisaris Independen KRAS Roy Maningkas yang mengajukan pengunduran diri pada 11 Juli dan akan berlaku efektif pada 11 Agustus mendatang.
Ada beberapa faktor yang membuat Roy mundur dari kursi komisaris. Salah satunya Krakatau Steel bisa mengalami potensi kerugian hingga Rp 1,3 triliun per tahun.
Kerugian tersebut bisa terjadi karena pengujian Blast Furnace dipaksakan untuk selesai dalam 2 bulan agar dapat diterima Krakatau Steel. Padahal begitu banyak item yang harus diuji keandalan dan keamanan, tidak mungkin hanya diuji dalam 2 bulan, sementara dalam kontrak minimal 6 bulan pengujian.
Blast Furnace atau biasa juga disebut dengan tanur tiup digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.
Proyek pembangunan Blast Furnace Complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta ton baja per tahun.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menegaskan proyek pabrik baja dengan teknologi Blast Furnace harus dilanjutkan. Meski proyek ini memicu perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari komisaris independen Roy Maningkas yang akhirnya memutuskan mengundurkan diri.
Proyek ini dimulai sejak 2011 (sebelum Silmy masuk pada September 2018). Saat ini sedang dimulai beroperasi, dan KRAS sudah mengeluarkan uang sekitar US$ 714 juta atau setara Rp 10 triliun. Terjadi over-run atau membengkak Rp 3 triliun, dari rencana semula Rp 7 triliun.
Menanggapi ini, Direktur Utama KRAS Silmy Karim yang mulai memimpin BUMN baja tersebut pada September 2018 menegaskan bahwa ketika dia pertama kali masuk, banyak persoalan melingkupi Krakatau Steel.
Persoalan-persoalan tersebut kemudian difilter dan dicari solusi terbaik untuk mengatasinya, salah satunya Proyek Blast Furnace.
"Sebenarnya proyek ini dicanangkan 10 tahun lalu, harusnya sudah jadi tahun 2015. Ketika saya masuk [September 2018], saya paksa proyek itu selesai, itu tugas kita [manajemen baru], terus otomatis proyek itu selesai. Setelah itu ya harus test, dengan test itu kita tahu bener atau tidak proyek itu," kata Silmy dalam talkshow di CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
![]() |
Dia menegaskan dengan adanya performance test atas proyek itu, maka nanti akan kelihatan apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study (FS, studi kelayakan) atau tidak.
Menurut dia, alangkah lebih baik jika yang membuktikan ketidaklayakan proyek itu dari hasil tes dilakukan oleh pihak ketiga sehingga bisa ditarik justifikasi apakah memang benar proyek itu dilanjutkan atau ada opsi untuk menyetop proyek itu.
"Buat kita manajemen baru tak ada beban masa lalu di KRAS, dilanjutkan atau disetop proyek ini adalah bagian dari suatu proses, yang terpenting proyek ini selesai," tegas mantan CEO Barata Indonesia ini.
"Kalau mangkrak [proyek Blast Furnace] akan lebih parah, mengenai 3 bulan operasi atau 1 tahun operasi, itu berdasarkan pengujian tes, realibilty-nya bagaimana. Udah gitu oh ternyata mahal tak sesuai FS, karena naiknya harga gas, lalu investasi membengkak, lalu dicari solusinya, setop atau dikasi penambahan sistem, karena ini masih masih sistem lama."
(hps/tas) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Most Popular