Bos KRAS Buka-bukaan Soal Trik China Gempur Pasar Baja RI
tahir saleh, CNBC Indonesia
24 July 2019 18:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri baja dalam negeri dinilai sudah terkena dampak baja impor jauh sebelum terjadinya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China berkecamuk. Kini, dampaknya kian terasa dengan gempuran baja impor yang berimbas pada baja dalam negeri.
Direktur Utama KRAS Silmy Karim mengatakan apa yang dilakukan China sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia tepat dengan menjaga industri dalam negerinya.
China, menurut dia, memproduksi hingga 1 miliar ton per tahun, sementara produksi Indonesia sekitar 7 juta. Selain itu, dengan pasokan dalam negeri yang berlebih (over supply), China memang menerapkan beberapa taktik yang dinilai sah-sah saja.
Beberapa strategi yang dilakukan bisa dengan safeguard (tindakan pengamanan), bea masuk anti-dumping, dan kebijakan non-tarif barrier. Dumping adalah ekspor barang dengan harga yang lebih rendah di negara tujuan, dari harga yang seharusnya di pasar domestik.
Adapun non-tarif adalah tindakan negara yang ditujukan untuk menghalangi masuknya barang impor melalui berbagai kebijakan yang bukan tarif bea masuk.
Pada Senin pekan ini, (22/7/2019), Reuters melaporkan pemerintah China menyatakan bakal mengenakan bea masuk anti-dumping untuk sejumlah produk baja yang diimpor dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia.
(tas/hps) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Direktur Utama KRAS Silmy Karim mengatakan apa yang dilakukan China sebagai salah satu produsen baja terbesar di dunia tepat dengan menjaga industri dalam negerinya.
China, menurut dia, memproduksi hingga 1 miliar ton per tahun, sementara produksi Indonesia sekitar 7 juta. Selain itu, dengan pasokan dalam negeri yang berlebih (over supply), China memang menerapkan beberapa taktik yang dinilai sah-sah saja.
Pilihan Redaksi |
Beberapa strategi yang dilakukan bisa dengan safeguard (tindakan pengamanan), bea masuk anti-dumping, dan kebijakan non-tarif barrier. Dumping adalah ekspor barang dengan harga yang lebih rendah di negara tujuan, dari harga yang seharusnya di pasar domestik.
Adapun non-tarif adalah tindakan negara yang ditujukan untuk menghalangi masuknya barang impor melalui berbagai kebijakan yang bukan tarif bea masuk.
Pada Senin pekan ini, (22/7/2019), Reuters melaporkan pemerintah China menyatakan bakal mengenakan bea masuk anti-dumping untuk sejumlah produk baja yang diimpor dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia.
Bea masuk anti-dumping sebesar 18,1-103,1% akan dikenakan terhadap produk billet stainless steel dan plat baja hitam dari perusahaan-perusahaan Uni Eropa dan ketiga negara Asia tersebut.
Silmy menegaskan strategi bea masuk anti-dumping itu dilakukan memang untuk melindungi industri baja di Negeri Tiongkok.
Namun dia mengatakan Indonesia tidak bisa memaksakan saling serang dengan China dengan balas-balasan, dan harus realistis.
"Berangkatnya jangan balas-basalan [dengan China], tapi [landasannya] kepentingan national. Tidak sehat juga dan kita tidak cukup kuat juga [melawan produksi China], lebih kepada kesiapan kita, mereka [China] pemerintahannya sangat strong, kita banyak lobang," kata kata Silmy kepada CNBC Indonesia, di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Silmy menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk mendorong baja dalam negeri, level persaingan yang sehat di pasar, dan tidak ada kecurangan.
"Kita dalam menghadapi situasi ini harus realistis, enggak bisa memaksakan mau kita apa. Ekonomi pasar sudah terjadi, supaya menang harus punya daya saing, kita [baja nasional] akan ditolong level playing field [lapangan usaha] yang sama," kata Silmy.
"Pelaku industri meminta tidak ada kecurangan, ini berproses, ini PR bersama, bagaimana menentukan masa depan industri baja Indonesia, arena ini enggak cuma baja, bisa juga beberapa industri lain," kata mantan CEO Barata Indonesia ini.
Selama ini yang terjadi ialah, baja China bisa murah karena pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor. Besarannya yakni 10-13%. Artinya, produk mereka kata Silmy sudah lebih kompetitif.
"Ketika [baja China] masuk ke Indonesia, harusnya dapat bea masuk 15%, tapi mengaku produk tersebut alloy steel [baja paduan], menambahkan satu unsur yang bisa masuk kategori alloy sehingga dia dapat bea masuk dari Indonesia."
Sebagai informasi, baja paduan bebas bea masuk karena Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan. "Ini belum ditambah subsidi-subsidi. Makanya ini jadi PR kita. Betul ada Industri 4.0, tapi ada hal masif yang bisa kita dorong, kita butuh pertumbuhan industri yang di atas pertumbuhan ekonomi. Ini pernah terjadi di zaman Soeharto, kita harapkan ini industri jadi motor pertumbuhan ekonomi ke depan," katanya.
Untuk itu, pihaknya juga mendorong Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk ikut mengawasi impor baja.
Silmy menegaskan strategi bea masuk anti-dumping itu dilakukan memang untuk melindungi industri baja di Negeri Tiongkok.
Namun dia mengatakan Indonesia tidak bisa memaksakan saling serang dengan China dengan balas-balasan, dan harus realistis.
"Berangkatnya jangan balas-basalan [dengan China], tapi [landasannya] kepentingan national. Tidak sehat juga dan kita tidak cukup kuat juga [melawan produksi China], lebih kepada kesiapan kita, mereka [China] pemerintahannya sangat strong, kita banyak lobang," kata kata Silmy kepada CNBC Indonesia, di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Silmy menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk mendorong baja dalam negeri, level persaingan yang sehat di pasar, dan tidak ada kecurangan.
"Kita dalam menghadapi situasi ini harus realistis, enggak bisa memaksakan mau kita apa. Ekonomi pasar sudah terjadi, supaya menang harus punya daya saing, kita [baja nasional] akan ditolong level playing field [lapangan usaha] yang sama," kata Silmy.
"Pelaku industri meminta tidak ada kecurangan, ini berproses, ini PR bersama, bagaimana menentukan masa depan industri baja Indonesia, arena ini enggak cuma baja, bisa juga beberapa industri lain," kata mantan CEO Barata Indonesia ini.
Selama ini yang terjadi ialah, baja China bisa murah karena pemerintah China memberikan insentif berupa potongan pajak (tax rebate) bagi pengusaha yang melakukan ekspor. Besarannya yakni 10-13%. Artinya, produk mereka kata Silmy sudah lebih kompetitif.
"Ketika [baja China] masuk ke Indonesia, harusnya dapat bea masuk 15%, tapi mengaku produk tersebut alloy steel [baja paduan], menambahkan satu unsur yang bisa masuk kategori alloy sehingga dia dapat bea masuk dari Indonesia."
Sebagai informasi, baja paduan bebas bea masuk karena Indonesia belum bisa memproduksi baja paduan. "Ini belum ditambah subsidi-subsidi. Makanya ini jadi PR kita. Betul ada Industri 4.0, tapi ada hal masif yang bisa kita dorong, kita butuh pertumbuhan industri yang di atas pertumbuhan ekonomi. Ini pernah terjadi di zaman Soeharto, kita harapkan ini industri jadi motor pertumbuhan ekonomi ke depan," katanya.
Untuk itu, pihaknya juga mendorong Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk ikut mengawasi impor baja.
(tas/hps) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular