
Kabar dari MH Thamrin Bikin Dag-Dig-Dug, IHSG Jadi Loyo
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 July 2019 16:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan koreksi sebesar 0,05% ke level 6.414,73, dengan cepat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau.
Sayang tak lama berselang, IHSG kembali terjebak di zona merah. Selepas itu, tak sekalipun IHSG mencicipi lagi manisnya zona hijau. Per akhir sesi dua Selasa sore ini (16/7/2019), IHSG melemah 0,26% ke level 6.401,88.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (-8,02%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,93%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,33%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-1,09%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-0,92%).
IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,23%, indeks Straits Times menguat 0,25%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,45%.
Performa bursa Wall Street di AS yang menggembirakan sukses mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (15/7/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,1%, indeks S&P 500 menguat 0,02%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,17%. Walaupun tipis, ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertingginya sepanjang masa.
Ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS.
Ekspektasi tersebut masih didasari oleh pernyataan bernada dovish (kalem) yang disuarakan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed. Pada pekan lalu, Powell memberikan testimoninya di hadapan House Financial Services Committee terkait dengan terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Kala itu, pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainty) yang begitu sering.
CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
Di satu sisi, pengulangan kata 'ketidakpastian' yang begitu sering menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia saat ini berikut dengan prospeknya benar-benar sedang lesu. Namun di sisi lain, terlihat jelas bahwa di saat yang bersamaan Powell memberi sinyal yang kuat terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
Kini, optimisme kembali membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam pertemuannya pada akhir bulan ini.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 16 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 29,7%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 70,3%.
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Sayang, IHSG tak bisa memanfaatkan momentum yang ada. Kekhawatiran bahwa Bank Indonesia (BI) belum akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar saham tanah air.
Walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, hingga kini sinyal serupa belum bisa didapati dari BI. Hingga kini, MH Thamrin (kantor pusat BI) belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Hal ini sejatinya bisa dimaklumi. Menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG), ada yang namanya black period di mana para pejabat bank sentral menutup mulutnya rapat-rapat terkait arah kebijakan suku bunga acuan.
Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 dan 18 Juli, esok.
Sekadar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air memilih untuk melepas posisinya sembari menantikan perkembangan yang akan datang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Sayang tak lama berselang, IHSG kembali terjebak di zona merah. Selepas itu, tak sekalipun IHSG mencicipi lagi manisnya zona hijau. Per akhir sesi dua Selasa sore ini (16/7/2019), IHSG melemah 0,26% ke level 6.401,88.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (-8,02%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,93%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,33%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-1,09%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-0,92%).
Performa bursa Wall Street di AS yang menggembirakan sukses mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (15/7/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,1%, indeks S&P 500 menguat 0,02%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,17%. Walaupun tipis, ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertingginya sepanjang masa.
Ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS.
Ekspektasi tersebut masih didasari oleh pernyataan bernada dovish (kalem) yang disuarakan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed. Pada pekan lalu, Powell memberikan testimoninya di hadapan House Financial Services Committee terkait dengan terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Kala itu, pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainty) yang begitu sering.
![]() |
CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
Di satu sisi, pengulangan kata 'ketidakpastian' yang begitu sering menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia saat ini berikut dengan prospeknya benar-benar sedang lesu. Namun di sisi lain, terlihat jelas bahwa di saat yang bersamaan Powell memberi sinyal yang kuat terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
Kini, optimisme kembali membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam pertemuannya pada akhir bulan ini.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 16 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 29,7%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 70,3%.
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Sayang, IHSG tak bisa memanfaatkan momentum yang ada. Kekhawatiran bahwa Bank Indonesia (BI) belum akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi jual di pasar saham tanah air.
Walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, hingga kini sinyal serupa belum bisa didapati dari BI. Hingga kini, MH Thamrin (kantor pusat BI) belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Hal ini sejatinya bisa dimaklumi. Menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG), ada yang namanya black period di mana para pejabat bank sentral menutup mulutnya rapat-rapat terkait arah kebijakan suku bunga acuan.
Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 dan 18 Juli, esok.
Sekadar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air memilih untuk melepas posisinya sembari menantikan perkembangan yang akan datang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular