
Ekonomi China Loyo, Bursa Asia Tetap Strong!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 July 2019 16:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa saham utama kawasan Asia menutup perdagangan pertama di pekan ini di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,2%, indeks Shanghai menguat 0,4%, dan indeks Hang Seng terparesiasi 0,29%.
Sejatinya, rilis data pertumbuhan ekonomi China pada Senin ini (15/7/2019) tak mendukung bagi pelaku pasar saham Asia untuk melakukan aksi beli.
Pada pagi hari ini, biro statistik Negeri Panda mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China periode kuartal II-2019 berada di level 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Namun, data ekonomi China lainnya bisa dibilang menggembirakan. Pada pagi hari ini juga, produksi industri periode Juni 2019 diumumkan tumbuh sebesar 6,3%, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sementara itu, penjualan barang-barang ritel periode Juni 2019 diumumkan melejit hingga 9,8% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,5%, dilansir dari Trading Economics.
Dari kedua data tersebut, terlihat bahwa tekanan terhadap perekonomian China sudah mengendur pada bulan Juni, walaupun secara keseluruhan untuk kuartal II-2019 terdapat tekanan yang signifikan.
Ke depan, perekonomian China bisa dipacu untuk melaju lebih kencang lagi. Pasalnya, damai dagang dengan AS terlihat sudah semakin dekat.
Seperti yang diketahui, pascaberbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan Juni, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Perbincangan mengenai telepon antara delegasi AS dan China kemudian digelar pada pekan lalu dan kemungkinan, negosiasi tatap muka akan segera digelar dalam waktu dekat.
"Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berangkat ke Beijing dalam waktu dekat. Namun saat ini, menurut saya, kami sedang dalam masa tenang dalam bernegosiasi," ungkap Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Jika kesepakatan dagang kedua negara bisa diteken, ada kemungkinan yang besar bahwa pengenaan bea masuk tersebut akan dicabut, baik secara bertahap maupun sekaligus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Hari Buruh, Beberapa Bursa Asia-Pasifik Dibuka Menguat
Sejatinya, rilis data pertumbuhan ekonomi China pada Senin ini (15/7/2019) tak mendukung bagi pelaku pasar saham Asia untuk melakukan aksi beli.
Pada pagi hari ini, biro statistik Negeri Panda mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China periode kuartal II-2019 berada di level 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai laju pertumbuhan ekonomi terlemah dalam setidaknya 27 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Namun, data ekonomi China lainnya bisa dibilang menggembirakan. Pada pagi hari ini juga, produksi industri periode Juni 2019 diumumkan tumbuh sebesar 6,3%, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,2%, seperti dilansir dari Trading Economics.
Sementara itu, penjualan barang-barang ritel periode Juni 2019 diumumkan melejit hingga 9,8% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,5%, dilansir dari Trading Economics.
Dari kedua data tersebut, terlihat bahwa tekanan terhadap perekonomian China sudah mengendur pada bulan Juni, walaupun secara keseluruhan untuk kuartal II-2019 terdapat tekanan yang signifikan.
Ke depan, perekonomian China bisa dipacu untuk melaju lebih kencang lagi. Pasalnya, damai dagang dengan AS terlihat sudah semakin dekat.
Seperti yang diketahui, pascaberbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan Juni, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Perbincangan mengenai telepon antara delegasi AS dan China kemudian digelar pada pekan lalu dan kemungkinan, negosiasi tatap muka akan segera digelar dalam waktu dekat.
"Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berangkat ke Beijing dalam waktu dekat. Namun saat ini, menurut saya, kami sedang dalam masa tenang dalam bernegosiasi," ungkap Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti dikutip dari Reuters.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Jika kesepakatan dagang kedua negara bisa diteken, ada kemungkinan yang besar bahwa pengenaan bea masuk tersebut akan dicabut, baik secara bertahap maupun sekaligus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Hari Buruh, Beberapa Bursa Asia-Pasifik Dibuka Menguat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular