
Harga Emas Bisa ke Rp 900.000/Gram? Kenapa Tidak!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 July 2019 16:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas batangan Antam 1 gram masih dibanderol Rp 706.000/gram pada perdagangan hari ini. Penyebab utama kenaikan harga emas Antam adalah harga spot emas dunia yang melesat naik, bahkan sempat mencapai level tertinggi sejak Mei 2013.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, harga emas dunia berada di US$ 1.415,49 per troy ounce atau naik 0,85% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Sementara harga emas Antam merespons dengan naik Rp 5.000.
Pada perdagangan hari ini harga emas spot masih masih cukup stabil di kisaran US$ 1.409 - 1.419 per troy ounce, dan tidak terlalu jauh dari level tertinggi enam tahun yang dicapai pada bulan lalu. Faktor utama penopang kenaikan harga emas dunia adalah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserves/The Fed yang akan memangkas suku bunga di tahun ini.
Pelaku pasar bahkan memprediksi Jerome Powell dkk akan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di sisa tahun ini. Pemangkasan yang terbilang agresif jika benar terjadi.
Emas merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global, akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset emas. Logam mulia sangat terkait dengan nilai tukar dolar AS. Kala greenback melemah, maka harga emas akan naik karena emas adalah komoditas yang dibanderol dengan dolar AS.
Emas juga merupakan aset safe haven, jika terjadi gejolak finansial atau perlambatan ekonomi global (isu yang masih hangat hingga kini) maka para investor akan mengalihkan investasinya ke logam mulia. Satu lagi, secara tradisional emas merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi. Jadi ketika The Fed menurunkan suku bunga, inflasi di AS kemungkinan akan meningkat, begitu dengan dengan daya tarik emas.
Melihat kondisi ekonomi saat ini, dan melihat faktor-faktor yang bisa mendongkrak kinerja emas tersebut, ke depannya harga emas masih berpeluang besar akan kembali menguat.
Bahkan, harga emas diperkirakan mencapai US$ 2.000 per troy ounce pada akhir tahun ini. Hal ini disampaikan David Roche, Presiden dan ahli strategi global di Independent Strategy yang berbasis di London pada Senin (8/7/2019), dilansir CNBC International.
Harga US$ 2.000 per troy ounce jika dikonversi menjadi satu gram maka hasilnya US$ 64,31 per gram. Dengan asumsi kurs rupiah Rp 14.100/US$, maka prediksi harga emas oleh Roche yakni setara dengan Rp 906.771/gram.
Rekor tertinggi harga emas dunia yakni US$ 1.920,30 per troy ounce yang dicapai pada September 2011, berdasarkan data Refinitiv. Ada beberapa faktor yang membuat harga emas mencapai rekor tertinggi kala itu, dan faktor yang sama sudah mulai muncul saat ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sedikit melihat ke belakang, krisis finansial yang berawal dari AS pada 2008 atau yang dikenal dengan subprime mortgage membuat The Fed secara agresif memangkas suku bunga guna menyelamatkan perekonomian Paman Sam. Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas suku bunga acuan sebesar 500 basis poin atau 5%.
Suku bunga rendah ternyata belum cukup untuk memulihkan perekonomian AS. Maka dimulai lah periode pembelian aset melalui surat berharga atau surat utang baik pemerintah maupun swasta oleh The Fed, atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Tujuannya untuk membanjiri likuiditas di pasar, sehingga mendorong aktivitas perekonomian.
Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas. Penurunan suku bunga dan QE dari The Fed membuat indeks dolar jeblok, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai.
Banjir likuiditas secara global membuat inflasi kemungkinan meningkat, krisis finansial di AS merembet ke berbagai belahan dunia, yang membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset lindung nilai inflasi dan safe haven yakni emas. Belum lagi jebloknya nilai tukar dolar AS, membuat emas yang berdenominasi mata uang Paman Sam ini menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, membuat permintaan logam mulia semakin meningkat. Semua faktor tersebut membawa harga emas mencapai rekor tertinggi US$ 1.920,30 per troy ounce.
Itu adalah sejarah, bagaimana dengan saat ini? Ingat ada istilah history repeats itself!
Meski saat ini tidak sedang terjadi krisis (di negara maju) namun perekonomian global sedang mengalami pelambatan, dan beberapa negara emerging market sudah mengalami masalah. Banyak bank sentral kini sedang “berlomba” untuk memberikan stimulus ke perekonomian dengan menurunkan suku bunga atau dengan program QE.
Bank Sentral Australia dalam dua bulan beruntun sudah memangkas suku bunga masing-masing 25 basis poin ke rekor terendah sepanjang masa. Bank Sentral India juga memotong suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada Juni. Bank Sentral Malaysia lebih dulu lagi yakni pada Mei.
Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga diprediksi akan memangkas suku bunga dan/atau menggelontorkan QE pada September. Bahkan, nominasi Christine Lagarde sebagai Presiden ECB menggantikan Mario Dragihi memicu spekulasi akan adanya gelontoran stimulus yang lebih besar.
Masih belum cukup? Bank Sentral Inggris (Bank of Englad) juga diprediksi akan memangkas suku bunga tahun ini. Kondisi ekonomi Inggris kini mulai memburuk, belum lagi ada kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan alias no-deal atau Hard Brexit pada 31 Oktober nanti.
Jika melihat arah kebijakan moneter bank sentral utama dunia tersebut, tentunya mirip dengan saat krisis finansial global. Hal itulah yang membuat peluang emas ke US$ 2.000 per troy ounce atau kisaran Rp 900.000 per gram mungkin akan terjadi.
Ingat, history repeats itself...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pergerakan Emas Antam Dalam Sepekan, Untung atau Buntung?
Pada perdagangan akhir pekan lalu, harga emas dunia berada di US$ 1.415,49 per troy ounce atau naik 0,85% dibandingkan perdagangan hari sebelumnya. Sementara harga emas Antam merespons dengan naik Rp 5.000.
Pelaku pasar bahkan memprediksi Jerome Powell dkk akan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di sisa tahun ini. Pemangkasan yang terbilang agresif jika benar terjadi.
Emas merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global, akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset emas. Logam mulia sangat terkait dengan nilai tukar dolar AS. Kala greenback melemah, maka harga emas akan naik karena emas adalah komoditas yang dibanderol dengan dolar AS.
Emas juga merupakan aset safe haven, jika terjadi gejolak finansial atau perlambatan ekonomi global (isu yang masih hangat hingga kini) maka para investor akan mengalihkan investasinya ke logam mulia. Satu lagi, secara tradisional emas merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi. Jadi ketika The Fed menurunkan suku bunga, inflasi di AS kemungkinan akan meningkat, begitu dengan dengan daya tarik emas.
Melihat kondisi ekonomi saat ini, dan melihat faktor-faktor yang bisa mendongkrak kinerja emas tersebut, ke depannya harga emas masih berpeluang besar akan kembali menguat.
Bahkan, harga emas diperkirakan mencapai US$ 2.000 per troy ounce pada akhir tahun ini. Hal ini disampaikan David Roche, Presiden dan ahli strategi global di Independent Strategy yang berbasis di London pada Senin (8/7/2019), dilansir CNBC International.
Harga US$ 2.000 per troy ounce jika dikonversi menjadi satu gram maka hasilnya US$ 64,31 per gram. Dengan asumsi kurs rupiah Rp 14.100/US$, maka prediksi harga emas oleh Roche yakni setara dengan Rp 906.771/gram.
Rekor tertinggi harga emas dunia yakni US$ 1.920,30 per troy ounce yang dicapai pada September 2011, berdasarkan data Refinitiv. Ada beberapa faktor yang membuat harga emas mencapai rekor tertinggi kala itu, dan faktor yang sama sudah mulai muncul saat ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sedikit melihat ke belakang, krisis finansial yang berawal dari AS pada 2008 atau yang dikenal dengan subprime mortgage membuat The Fed secara agresif memangkas suku bunga guna menyelamatkan perekonomian Paman Sam. Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas suku bunga acuan sebesar 500 basis poin atau 5%.
Suku bunga rendah ternyata belum cukup untuk memulihkan perekonomian AS. Maka dimulai lah periode pembelian aset melalui surat berharga atau surat utang baik pemerintah maupun swasta oleh The Fed, atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Tujuannya untuk membanjiri likuiditas di pasar, sehingga mendorong aktivitas perekonomian.
Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas. Penurunan suku bunga dan QE dari The Fed membuat indeks dolar jeblok, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai.
Banjir likuiditas secara global membuat inflasi kemungkinan meningkat, krisis finansial di AS merembet ke berbagai belahan dunia, yang membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset lindung nilai inflasi dan safe haven yakni emas. Belum lagi jebloknya nilai tukar dolar AS, membuat emas yang berdenominasi mata uang Paman Sam ini menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, membuat permintaan logam mulia semakin meningkat. Semua faktor tersebut membawa harga emas mencapai rekor tertinggi US$ 1.920,30 per troy ounce.
Itu adalah sejarah, bagaimana dengan saat ini? Ingat ada istilah history repeats itself!
Meski saat ini tidak sedang terjadi krisis (di negara maju) namun perekonomian global sedang mengalami pelambatan, dan beberapa negara emerging market sudah mengalami masalah. Banyak bank sentral kini sedang “berlomba” untuk memberikan stimulus ke perekonomian dengan menurunkan suku bunga atau dengan program QE.
Bank Sentral Australia dalam dua bulan beruntun sudah memangkas suku bunga masing-masing 25 basis poin ke rekor terendah sepanjang masa. Bank Sentral India juga memotong suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada Juni. Bank Sentral Malaysia lebih dulu lagi yakni pada Mei.
Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga diprediksi akan memangkas suku bunga dan/atau menggelontorkan QE pada September. Bahkan, nominasi Christine Lagarde sebagai Presiden ECB menggantikan Mario Dragihi memicu spekulasi akan adanya gelontoran stimulus yang lebih besar.
Masih belum cukup? Bank Sentral Inggris (Bank of Englad) juga diprediksi akan memangkas suku bunga tahun ini. Kondisi ekonomi Inggris kini mulai memburuk, belum lagi ada kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan alias no-deal atau Hard Brexit pada 31 Oktober nanti.
Jika melihat arah kebijakan moneter bank sentral utama dunia tersebut, tentunya mirip dengan saat krisis finansial global. Hal itulah yang membuat peluang emas ke US$ 2.000 per troy ounce atau kisaran Rp 900.000 per gram mungkin akan terjadi.
Ingat, history repeats itself...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Pergerakan Emas Antam Dalam Sepekan, Untung atau Buntung?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular