
Harga Batu Bara Anjlok 2% Lebih Pekan Lalu, Ini Penyebabnya
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 July 2019 09:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Newcastle mengalami kontraksi pada pekan lalu. Sejumlah sentimen terkait permintaan global sukses membuat harga batu bara masih terus berada dalam tekanan.
Ditutup di level US$ 75,5/metrik ton pada sesi perdagangan hari Jumat (12/7/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Agustus tercatat melemah hingga 2,27% dalam sepekan secara point-to-point.
Dalam jangka pendek, musim hujan yang sedang berlangsung di China akan membatasi permintaan batu bara pada sejumlah pembangkit listrik utama.
Pasalnya, musim hujan membuat aliran sungai semakin deras yang berakibat pada peningkatan output dari pembangkit listrik tenaga air (hydrpower). Akibatnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan sedikit menahan pembakaran batu bara.
Mengutip Argusmedia, inventori batu bara di enam PLTU utama China per 10 Juli 2019 setara denga pembakaran 30 hari, naik dari posisi hari sebelumnya yang hanya 29 hari.
Sementara dalam jangka panjang, permintaan batu bara impor di China diperkirakan masih akan lesu akibat kebijakan proteksi yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Sebagaimana yang telah diketahui, pemerintah China masih memberlakukan pembatasan kuota impor pada komoditas batu bara. Kebijakan tersebut telah berlaku sejak awal tahun 2018 dan belum terlihat sinyal pencabutan.
Pada tahun 2018, kebijakan tersebut terbukti mampu menekan angka impor batu bara menjadi tinggal 280,8 juta ton, atau jauh lebih kecil ketimbang tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.
Selain itu, pertumbuhan permintaan energi di China, termasuk. batu bara, kemungkinan masih akan terus berada dalam tekanan. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi global yang terus bermunculan akan membuat aktivitas industri semakin lesu.
Teranyar, pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2019 dibacakan sebesar 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) atau merupakan yang paling lambat setidaknya sejak tahun 1992, mengutip Reuters.
Mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, maka imbasnya juga akan menyebar. Permintaan barang-barang industri dari berbagai negara ikut lesu yang akhirnya memangkas pertumbuhan permintaan energi secara global.
Namun, masih ada sentimen positif yang setidaknya dapat membatasi pelemahan harga batu bara.
Salah satunya adalah harapan penurunan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed pada akhir bulan Juli.
Perlambatan dan risiko ekonomi global sudah sering terlontar dari Gubernur The Fed, Jerome Powell dalam berbagai kesempatan. Bahkan dirinya menyebut kata 'ketidakpastian' hingga 26 kali dalam kesaksian di hadapan kongres pada pekan lalu.
Mengutip CME Fedwatch hari Senin (15/7/2019) pukul 09:15 WIB, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada rapat Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) bulan Juli mencapai 100%.
Kemungkinan FFR turun 25 basis poin mencapai 74,4%, sedangkan peluang turun 50 basis poin sebesar 25,6%.
Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, kegiatan usaha akan mendapatkan stimulus berupa peningkatan likuiditas. Fasilitas kredit semakin murah, ekspansi bisnis bisa di gas.
Terlebih, penurunan suku bunga The Fed seringkali juga akan diikuti dengan pemangkasan suku bunga acuan bank sentral di berbagai belahan dunia.
Dengan begitu, setidaknya perlambatan ekonomi global tidak akan menghantam aktivitas industri terlalu keras.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/taa) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Ditutup di level US$ 75,5/metrik ton pada sesi perdagangan hari Jumat (12/7/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Agustus tercatat melemah hingga 2,27% dalam sepekan secara point-to-point.
Pasalnya, musim hujan membuat aliran sungai semakin deras yang berakibat pada peningkatan output dari pembangkit listrik tenaga air (hydrpower). Akibatnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan sedikit menahan pembakaran batu bara.
Mengutip Argusmedia, inventori batu bara di enam PLTU utama China per 10 Juli 2019 setara denga pembakaran 30 hari, naik dari posisi hari sebelumnya yang hanya 29 hari.
Sementara dalam jangka panjang, permintaan batu bara impor di China diperkirakan masih akan lesu akibat kebijakan proteksi yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Sebagaimana yang telah diketahui, pemerintah China masih memberlakukan pembatasan kuota impor pada komoditas batu bara. Kebijakan tersebut telah berlaku sejak awal tahun 2018 dan belum terlihat sinyal pencabutan.
Pada tahun 2018, kebijakan tersebut terbukti mampu menekan angka impor batu bara menjadi tinggal 280,8 juta ton, atau jauh lebih kecil ketimbang tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.
Selain itu, pertumbuhan permintaan energi di China, termasuk. batu bara, kemungkinan masih akan terus berada dalam tekanan. Sinyal-sinyal perlambatan ekonomi global yang terus bermunculan akan membuat aktivitas industri semakin lesu.
Teranyar, pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2019 dibacakan sebesar 6,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) atau merupakan yang paling lambat setidaknya sejak tahun 1992, mengutip Reuters.
Mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, maka imbasnya juga akan menyebar. Permintaan barang-barang industri dari berbagai negara ikut lesu yang akhirnya memangkas pertumbuhan permintaan energi secara global.
Namun, masih ada sentimen positif yang setidaknya dapat membatasi pelemahan harga batu bara.
Salah satunya adalah harapan penurunan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed pada akhir bulan Juli.
Perlambatan dan risiko ekonomi global sudah sering terlontar dari Gubernur The Fed, Jerome Powell dalam berbagai kesempatan. Bahkan dirinya menyebut kata 'ketidakpastian' hingga 26 kali dalam kesaksian di hadapan kongres pada pekan lalu.
Mengutip CME Fedwatch hari Senin (15/7/2019) pukul 09:15 WIB, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada rapat Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) bulan Juli mencapai 100%.
Kemungkinan FFR turun 25 basis poin mencapai 74,4%, sedangkan peluang turun 50 basis poin sebesar 25,6%.
Dengan adanya penurunan suku bunga acuan, kegiatan usaha akan mendapatkan stimulus berupa peningkatan likuiditas. Fasilitas kredit semakin murah, ekspansi bisnis bisa di gas.
Terlebih, penurunan suku bunga The Fed seringkali juga akan diikuti dengan pemangkasan suku bunga acuan bank sentral di berbagai belahan dunia.
Dengan begitu, setidaknya perlambatan ekonomi global tidak akan menghantam aktivitas industri terlalu keras.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(taa/taa) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular