Miris! Bursa Saham Asia Menguat, IHSG Malah Ambruk

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 July 2019 16:49
Miris! Bursa Saham Asia Menguat, IHSG Malah Ambruk
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah tipis 0,04% ke level 6.414,2 pada perdagangan hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan cepat membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau.

Namun tak lama kemudian, IHSG terjerembab lagi di zona merah dan setelah itu, IHSG terus memperlebar kekalahannya. Per akhir sesi dua, IHSG jatuh 0,68% ke level 6.373,35.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-2,11%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-3,11%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-4,55%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-4,86%), dan PT Astra International Tbk/ASII (-1%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang justru kompak ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,2%, indeks Shanghai menguat 0,44%, indeks Hang Seng terapresiasi 0,14%, indeks Straits Times terkerek 0,14%, dan indeks Kospi terapresasi 0,29%.

Aura pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang masih terasa membuat saham-saham di Benua Kuning diburu investor. Kemarin (11/7/2019) waktu setempat, Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell memberikan testiomininya di hadapan Senate Banking Committee terkait dengan terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.

Powell mengeluarkan pernyataan yang relatif sama seperti pada hari sebelumnya (10/7/2019) kala memberikan testimoni di hadapan House Financial Services Committee.

Pada saat itu, pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainity) yang begitu sering. CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.

'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.


Di satu sisi, pengulangan kata 'ketidakpastian' yang begitu sering menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia saat ini berikut dengan prospeknya benar-benar sedang lesu. Namun di sisi lain, terlihat jelas bahwa di saat yang bersamaan Powell memberi sinyal yang kuat terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Kini, optimisme membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar dalam pertemuannya pada akhir bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 12 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 21,4%.

Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 78,6%.

Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.

Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Sayang seribu sayang, IHSG tak bisa memanfaatkan momentum yang ada. Pasalnya, walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, sinyal serupa belum bisa didapati dari Bank Indonesia (BI).

Hingga sore hari ini, MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.

Hal ini sejatinya bisa dimaklumi. Menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG), ada yang namanya black period di mana para pejabat bank sentral menutup mulutnya rapat-rapat terkait arah kebijakan suku bunga acuan.

Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 dan 18.

Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.

Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.

Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.

Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air memilih untuk melepas posisinya sembari menantikan pekembangan yang akan datang.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular