
Fiuh! Seharian Terombang-ambing, IHSG Finis di Zona Hijau
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 July 2019 17:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,22% ke level 6.424,63, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemudian terombang-ambing di zona hijau dan merah. Kabar gembiranya, per akhir sesi dua IHSG membukukan penguatan walau tipis saja yakni sebesar 0,1%. IHSG ditutup di level 6.417,07.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG menguat di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,42%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,01%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,09%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+4,45%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,63%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,51%, indeks Shanghai menguat 0,08%, indeks Hang Seng melejit 0,81%, indeks Straits Times terapresiasi 0,37%, dan indeks Kospi melesat 1,06%.
Sentimen positif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari rilis risalah (minutes of meeting) pertemuan The Federal Reserve (The Fed) edisi Juni 2019.
Melalui risalah ini, semakin terkonfirmasi bahwa The Fed memiliki intensi untuk memangkas tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat. Para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga laju perekonomian.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir dari CNBC International.
Perang dagang antara AS dengan China menjadi faktor yang dianggap berpotensi membawa guncangan bagi perekonomian AS. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
"Para anggota secara umum setuju bahwa risiko terhadap prospek perekonomian telah meningkat semenjak pertemuan pada bulan Mei, utamanya risiko yang berkaitan dengan negosiasi dagang yang tengah berlangsung dan perlambatan ekonomi di negara-negara lain."
Lebih lanjut, testimoni Gubernur The Fed Jerome Powell semakin mengukuhkan optimisme bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas. Kemarin (10/7/2019) waktu setempat, Powell memberikan testiomi di hadapan House Financial Services Committee terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainity) yang begitu sering. CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
[Gambas:Twitter]
Berikut contoh kutipan dari Powell yang mengandung kata 'ketidakpastian':
Kini, optimisme kembali membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam pertemuannya pada akhir bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 11 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 32,8%. Kemarin sore waktu Indonesia, probabilitasnya berada di angka 0%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 67,2%.
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Sayang seribu sayang, IHSG kurang bisa memanfaatkan momentum yang ada. Pasalnya, walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, sinyal serupa belum bisa didapati dari Bank Indonesia (BI).
Hingga akhir perdagangan di bursa saham tanah air, MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air menahan diri dari melakukan aksi beli yang kelewat besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Investor Wait and See, IHSG Masih Bisa Terbang Tinggi?
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG menguat di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,42%), PT Astra International Tbk/ASII (+1,01%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,09%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+4,45%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+0,63%).
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,51%, indeks Shanghai menguat 0,08%, indeks Hang Seng melejit 0,81%, indeks Straits Times terapresiasi 0,37%, dan indeks Kospi melesat 1,06%.
Melalui risalah ini, semakin terkonfirmasi bahwa The Fed memiliki intensi untuk memangkas tingkat suku bunga acuan dalam waktu dekat. Para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga laju perekonomian.
"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir dari CNBC International.
Perang dagang antara AS dengan China menjadi faktor yang dianggap berpotensi membawa guncangan bagi perekonomian AS. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
"Para anggota secara umum setuju bahwa risiko terhadap prospek perekonomian telah meningkat semenjak pertemuan pada bulan Mei, utamanya risiko yang berkaitan dengan negosiasi dagang yang tengah berlangsung dan perlambatan ekonomi di negara-negara lain."
Lebih lanjut, testimoni Gubernur The Fed Jerome Powell semakin mengukuhkan optimisme bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas. Kemarin (10/7/2019) waktu setempat, Powell memberikan testiomi di hadapan House Financial Services Committee terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.
Pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainity) yang begitu sering. CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.
'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.
[Gambas:Twitter]
Berikut contoh kutipan dari Powell yang mengandung kata 'ketidakpastian':
- "Kami telah sepakat untuk memulai lagi diskusi dengan China dan itu merupakan langkah yang konstruktif, namun itu tidak menghilangkan ketidakpastian yang kami lihat membebani prospek perekonomian secara keseluruhan."
- "Intinya bagi saya adalah ketidakpastian terkait pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan terus membebani prospek perekonomian AS dan di samping itu, inflasi terus berada di level yang rendah."
Kini, optimisme kembali membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam pertemuannya pada akhir bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 11 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 32,8%. Kemarin sore waktu Indonesia, probabilitasnya berada di angka 0%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 67,2%.
Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.
Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi. Sayang seribu sayang, IHSG kurang bisa memanfaatkan momentum yang ada. Pasalnya, walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, sinyal serupa belum bisa didapati dari Bank Indonesia (BI).
Hingga akhir perdagangan di bursa saham tanah air, MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.
Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.
Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Padahal, saat ini perekonomian Indonesia jelas membutuhkan stimulus moneter. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.
Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.
Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Belum adanya kisi-kisi dari MH Thamrin terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan membuat pelaku pasar saham tanah air menahan diri dari melakukan aksi beli yang kelewat besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Investor Wait and See, IHSG Masih Bisa Terbang Tinggi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular