
Tengah Naik, Harga Batu Bara Justru Diramal Loyo Hingga 2021
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 July 2019 11:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle melesat setelah diterpa sentimen positif dari 'gencatan senjata' perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Namun aktivitas industri yang semakin buruk di berbagai negara utama dunia masih membebani harga komoditas energi ini.
Pada penutupan perdagangan hari Senin (1/7/2019) harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Agustus bertengger di posisi SU$ 69,5/metrik ton atau melonjak hingga 3,35%.
Sebagaimana yang telah diketahui, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang pada 28-29 Juni 2019 silam, Presiden As Donad Trump dan Presiden China Xi Jinping melakukan pertemuan eksklusif selama sekitar 80 menit.
Hasilnya, kedua negara sepakat untuk kembali memulai proses perundingan yang sempat terhenti karena Trump menaikkan bea impor produk China senila US$ 200 menjadi 25% (dari 10%) Mei 2019 lalu.
Dengan begitu, rencana Trump untuk mengenakan bea impor 25% pada produk China lain senilai US$ 300 miliar, seperti yang sudah berkali-kali ia katakan, resmi ditunda untuk waktu yang belum diketahui.
Masih ada peluang kedua negara mencapai kesepakatan dan mengakhiri perang dagang untuk selamanya. Selain itu, setidaknya perang dagang tidak akan tereskalasi dalam waktu dekat. Perlambatan ekonomi global pun tidak semakin parah.
Sentimen tersebut sedikit menghapus kekhawatiran pelaku pasar batu bara akan penurunan permintaan akibat ekonomi yang lesu. Pasalnya, permintaan energi--termasuk di antaranya batu bara--akan bergerak searah dengan pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, baru-baru ini rilis data aktivitas manufaktur di beberapa negara konsumen batu bara utama dunia terbilang buruk.
Di China, angka pembacaan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur bulan Juni hanya sebesar 49,4 atau paling kecil sejak Januari 2019. Sebagai informasi, angka di bawah 50 berarti aktivitas industri manufaktur tengah mengalami fase kontraksi. Berlaku pula sebaliknya.
Beralih ke India, pembacaan PMI manufaktur Negeri Bollywood bulan Juni anjlok ke level 52,1 dari posisi bulan sebelumnya yang mencapai 52,7.
Negeri Sakura pun bernasib serupa. Pembacaan awal PMI manufaktur bulan Juni versi Nikkei yang sebesar 49,5 telah direvisi menjadi 49,9 dan menandakan kontraksi paling parah dalam 3 bulan terakhir.
Data terpisah menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang bulan Juni berada di level 38,7 atau yang terendah sejak November 2014. Indeks ini mencerminkan pesimisme konsumen terhadap prospek ekonomi Jepang ke depan, dan membuat bank sentral (Bank of Japan/BOJ) semakin terdesak memberi stimulus moneter untuk menggenjot ekonomi.
Dari Korea Selatan (Korsel), PMI manufaktur bulan Juni jatuh ke posisi 47,5 dari 48,4 di bulan sebelumnya. Nikkei menyebutkan bahwa penurunan angka PMI tersebut merupakan yang paling tajam dalam empat bulan terakhir. Sementara posisi bulan Juni merupakan kontraksi paling parah sejak Juni 2015.
Sederet data tersebut mengindikasikan aktivitas industri yang tengah lesu di negara-negara konsumen batu bara utama dunia.
Sebagai informasi, dari total batu bara impor (seaborne) yang diperdagangkan secara internasional di tahun 2018, China membeli 22% sedangkan India 19%. Jepang dan Korsel juga merupakan importir utama batu bara di kawasan Asia.
Alhasil, Australia sebagai negara eksportir batu bara thermal terbesar dunia baru-baru ini menurunkan proyeksi harga batu bara acuan Newcastle rata-rata 2019 menjadi US$ 83/metrik ton. Pada Maret 2019 silam, angka proyeksinya masih berada di level US$ 92/metrik ton.
Sebagai catatan, harga batu bara Newcastle di pasar spot saat ini berada sekitar US$ 70-an/metrik ton, yang mana telah turun dari US$ 100/metrik ton di awal tahun 2019. Bahkan Australia memprediksi harga batu bara Newcastle rata-rata akan berada di level US$ 70/metrik ton hingga 2021 akibat pelemahan permintaan dari pasar Asia.
Ada pula peningkatan pasokan yang terjadi akibat dibukanya proyek tambang baru Carmichael di Queensland oleh perusahaan asal India, Adani.
Kala proyek tersebut sudah rampung dan dapat beroperasi secara penuh yang diprediksi terjadi dalam dua tahun, ekspor batu bara Australia berpotensi meningkat hingga dua kali lipat. Alhasil keseimbangan fundamental di pasar batu bara global akan semakin timpang di sisi pasokan. Harga akan terus mendapat tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Pada penutupan perdagangan hari Senin (1/7/2019) harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Agustus bertengger di posisi SU$ 69,5/metrik ton atau melonjak hingga 3,35%.
Hasilnya, kedua negara sepakat untuk kembali memulai proses perundingan yang sempat terhenti karena Trump menaikkan bea impor produk China senila US$ 200 menjadi 25% (dari 10%) Mei 2019 lalu.
Dengan begitu, rencana Trump untuk mengenakan bea impor 25% pada produk China lain senilai US$ 300 miliar, seperti yang sudah berkali-kali ia katakan, resmi ditunda untuk waktu yang belum diketahui.
Masih ada peluang kedua negara mencapai kesepakatan dan mengakhiri perang dagang untuk selamanya. Selain itu, setidaknya perang dagang tidak akan tereskalasi dalam waktu dekat. Perlambatan ekonomi global pun tidak semakin parah.
Sentimen tersebut sedikit menghapus kekhawatiran pelaku pasar batu bara akan penurunan permintaan akibat ekonomi yang lesu. Pasalnya, permintaan energi--termasuk di antaranya batu bara--akan bergerak searah dengan pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, baru-baru ini rilis data aktivitas manufaktur di beberapa negara konsumen batu bara utama dunia terbilang buruk.
Di China, angka pembacaan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur bulan Juni hanya sebesar 49,4 atau paling kecil sejak Januari 2019. Sebagai informasi, angka di bawah 50 berarti aktivitas industri manufaktur tengah mengalami fase kontraksi. Berlaku pula sebaliknya.
Beralih ke India, pembacaan PMI manufaktur Negeri Bollywood bulan Juni anjlok ke level 52,1 dari posisi bulan sebelumnya yang mencapai 52,7.
Negeri Sakura pun bernasib serupa. Pembacaan awal PMI manufaktur bulan Juni versi Nikkei yang sebesar 49,5 telah direvisi menjadi 49,9 dan menandakan kontraksi paling parah dalam 3 bulan terakhir.
Data terpisah menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang bulan Juni berada di level 38,7 atau yang terendah sejak November 2014. Indeks ini mencerminkan pesimisme konsumen terhadap prospek ekonomi Jepang ke depan, dan membuat bank sentral (Bank of Japan/BOJ) semakin terdesak memberi stimulus moneter untuk menggenjot ekonomi.
Dari Korea Selatan (Korsel), PMI manufaktur bulan Juni jatuh ke posisi 47,5 dari 48,4 di bulan sebelumnya. Nikkei menyebutkan bahwa penurunan angka PMI tersebut merupakan yang paling tajam dalam empat bulan terakhir. Sementara posisi bulan Juni merupakan kontraksi paling parah sejak Juni 2015.
Sederet data tersebut mengindikasikan aktivitas industri yang tengah lesu di negara-negara konsumen batu bara utama dunia.
Sebagai informasi, dari total batu bara impor (seaborne) yang diperdagangkan secara internasional di tahun 2018, China membeli 22% sedangkan India 19%. Jepang dan Korsel juga merupakan importir utama batu bara di kawasan Asia.
Alhasil, Australia sebagai negara eksportir batu bara thermal terbesar dunia baru-baru ini menurunkan proyeksi harga batu bara acuan Newcastle rata-rata 2019 menjadi US$ 83/metrik ton. Pada Maret 2019 silam, angka proyeksinya masih berada di level US$ 92/metrik ton.
Sebagai catatan, harga batu bara Newcastle di pasar spot saat ini berada sekitar US$ 70-an/metrik ton, yang mana telah turun dari US$ 100/metrik ton di awal tahun 2019. Bahkan Australia memprediksi harga batu bara Newcastle rata-rata akan berada di level US$ 70/metrik ton hingga 2021 akibat pelemahan permintaan dari pasar Asia.
Ada pula peningkatan pasokan yang terjadi akibat dibukanya proyek tambang baru Carmichael di Queensland oleh perusahaan asal India, Adani.
Kala proyek tersebut sudah rampung dan dapat beroperasi secara penuh yang diprediksi terjadi dalam dua tahun, ekspor batu bara Australia berpotensi meningkat hingga dua kali lipat. Alhasil keseimbangan fundamental di pasar batu bara global akan semakin timpang di sisi pasokan. Harga akan terus mendapat tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular