Bahaya, Penguatan Rupiah Tinggal 0,07%!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 July 2019 14:32
Bahaya, Penguatan Rupiah Tinggal 0,07%!
Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memang masih menguat. Namun faktor domestik dan eksternal membuat penguatan rupiah menipis. 

Pada Senin (1/7/2019) pukul 14:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.115. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Walau masih menguat, tetapi apresiasi rupiah tergerus lumayan dalam. Kala pembukaan pasar, penguatan rupiah masih 0,32% dan dolar AS mampu didorong ke bawah Rp 14.100. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah mengendur. Penguatan rupiah kini sangat tipis dan dolar AS kembali nyaman di kisaran Rp 14.100. 

Apa yang terjadi? 

Sepertinya faktor eksternal dan domestik jadi penyebabnya. Dari sisi eksternal, pelaku pasar yang bersemi-semi karena pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping kini kembali memasang mode waspada.


Pasalnya, jalan menuju damai dagang masih jauh.
 China Daily, harian yang dikelola pemerintah China, memberitakan belum ada jaminan damai dagang bisa tercapai. Hal ini merujuk pada proses negosiasi sebelumnya, yang bisa mandek saat perkembangan mencapai 90%. 

"Walau Washington sepakat untuk menunda kenaikan tarif bea masuk untuk produk China sepanjang negosiasi, dan bahkan Trump menyebutkan akan memutuskan sesuatu tentang Huawei, masih banyak hal yang belum bisa dipegang. Terbukti kesepakatan yang sudah 90% saja tidak cukup, dan dengan sisa 10% ternyata berisi hal-hal fundamental, tidak akan mudah mencapai kesepakatan 100%," tulis tajuk di China Daily, seperti diberitakan Reuters. 

Pasar yang sempat terbang ke awan kini kembali kembali menginjak bumi. Kehati-hatian kembali terpasang, minat terhadap instrumen berisiko berkurang. Akibatnya apresiasi rupiah tergerus seiring berkurangnya arus modal masuk. 

Kemudian, pelaku pasar juga mulai melirik perkembangan di pasar komoditas, utamanya harga minyak. Pada pukul 14:14 WIB, harga minyak jenis light sweet meroket 2,79%. 

 

Bagi rupiah, kenaikan harga minyak adalah musibah. Sebab, kenaikan harga si emas hitam akan membuat biaya impornya membengkak dan membebani transaksi berjalan (current account). 

Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting buat rupiah, karena menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika defisit transaksi berjalan makin dalam gara-gara pembengkakan impor minyak, maka rupiah tentu selalu dihantui risiko pelemahan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sedangkan dari dalam negeri, tampaknya pelaku pasar bereaksi negatif terhadap rilis data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi bulanan sebesar 0,55%. Sementara inflasi tahunan adalah 3,28% dan inflasi inti tahunan di 3,25%. 

Angka-angka ini lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juni sebesar 0,46% month-on-month (MoM) dan 3,185% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti secara tahunan diperkirakan 3,13%. 


Bagi negara seperti Jepang atau Jerman, percepatan laju inflasi mungkin menjadi berkah karena menandakan geliat ekonomi. Dunia usaha berani menaikkan harga, karena tidak 'bertepuk sebelah tangan' di sisi konsumen. Walau pengusaha menaikkan harga, konsumen berani dan mampu membeli yang menunjukkan ekosistem ekonomi sehat walafiat. 

Namun buat Indonesia, inflasi yang tinggi bukan pertanda baik. Inflasi tinggi adalah factory setting buat negara berkembang seperti Indonesia.

Percepatan laju inflasi bagi negara berkembang menandakan inefisensi di sisi produksi yang membuat konsumen harus membayar lebih mahal. Oleh karena itu, data inflasi Juni menjadi pemberat langkah rupiah.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular