BI Proyeksikan Kredit Perbankan Tumbuh 15% Hingga 2023

Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
26 June 2019 19:58
Pertumbuhan kredit perbankan diproyeksikan akan mencapai 15% beberapa tahun ke depan.
Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan kredit akan mencapai titik optimal setidaknya 3-4 tahun ke depan. Diprediksi pertumbuhan kredit akan mencapai 15% pada periode 2022-2023. Hal itu didukung oleh kebijakan makroprudensial yang masih memiliki ruang untuk mengakomodasi pertumbuhan kredit.

"Sebenarnya ekonomi domestik masih perlu didorong, terlihat dari pertumbuhan kredit yang terus alami penurunan dari tahun ke tahun. 3-4 tahun ke depan masih perlu didorong karena siklusnya [siklus pertumbuhan kredit] masih di bawah," jelas Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung dalam acara Diskusi Mengenai Kebijakan Makroprudensial, Rabu (26/6/2019).



Juda memaparkan saat ini tren pertumbuhan kredit mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Terlebih, angka credit to GDP gap Indonesia masih rendah sekitar 35%-36% dibanding China yang sudah mendekati 200%.

Dengan kebijakan makroprudensial itu, angka credit to GDP 3-4 tahun ke depan akan mencapai 40%-45%.  Juda menyebut BI akan mendorong agar pertumbuhan kredit semakin kencang dengan mendorong pembiayaan tidak hanya dari perbankan tapi juga sektor non-bank, seperti pasar modal atau obligasi.

"Sehingga tidak rely on bank. Perkiraan kita dengan tren sekarang ini masih longgar dan akomodatif," tutur Juda.



Saat ini, lanjut Juda, pertumbuhan kredit perbankan rata-rata tumbuh 11%-12%. Pada tahun 2024 pertumbuhannya diprediksi optimal di titik 17%. Sehingga, menurut Juda, pertumbuhan bisa berada di angka optimal 15% pada tahun 2022-2023.

"Itu titik optimalnya, trennya sudah di atas. Dengan asumsi GDP 6% di 2024," ucap Juda.


Untuk mengukur apakah kebijakan makroprudensial sudah cukup mendorong pertumbuhan ekonomi, BI akan melihat dari sisi credit to GDP gap atau countercyclical buffer (CCB) sejauh mana bisa mempengaruhi tren jangka panjang penyaluran kredit.

"Di BIS itu kan ada countercyclical buffer itu dilihat sejauh mana pertumbuhan Credit to GDP itu terhadap tren jangka panjangnya apakah masih di bawah apakah sudah di atas," ucapnya.

Jika sudah berada di atas tren jangka panjangnya kira-kira 3% maka CCB harus sudah dinaikan kembali. Artinya, bank harus sudah menambah modalnya. "Tapi ini masih lama 3-4 tahun ke depan. Sekarang masih di bawah trennya, sehingga masih bisa didorong," katanya.

Instrumen yang digunakan pun tergantung situasi. Bila harga propertiseperti saat ini maka makroprudensial masih akomodtaif. Saat ini, lanjut Juda, harga properti masih mengalami kelesuan. "Cuma bank kan tetap melihat kehati-hatian. Maka makroprudensial masih sangat longgar untuk LTV, RIM juga masih cukup," imbuhnya.

Baru-baru ini, Bi juga menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50basis poin (bps). Pemangkasan GWM ini diyakini akan menyuntikkan ikuiditas perbankan sebesar Rp 25 triliun. Tujuannya untuk menambah kapasitas kredit perbankan.

"Kita harapkan disalurkan ke sektor produktif seperti ekspor oriented atau kepada sektor-sektor yang bisa mendorong kapasitas perekonomian. Pariwisata mungkin bisa didorong. Kita harapkan untuk ke situ alih-alih disalurkan ke kredit konsumtif atau ditaruh di investasi yang sifatnya non-produktif," ucapnya.
(hoi/hoi) Next Article Warga +62 Siap-siap Ya, 6 Bulan Lagi Cicilan Kredit Naik!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular