
Setahun Direksi BEI
Perlukah Batasan Auto Rejection Diubah?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 June 2019 11:41

Jakarta, CNBC Indonesia - 'Yuk Nabung Saham'. Anda tentu mulai familiar dengan kampanye investasi yang digalakkan Bursa Efek Indonesia (BEI) ini sekitar 4 tahun terakhir.
Yuk Nabung Saham (YNS) adalah kampanye untuk mengajak masyarakat sebagai calon investor untuk berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham secara rutin dan berkala. Gerakan yang diluncurkan pertama kali pada 15 November 2015 ini ditujukan untuk menggaet para investor milenial (usia 23-38 tahun) yang selama ini belum mengerti pentingnya berinvestasi sejak usia muda. Peluncuran buku hingga penyelenggaraan kompetisi 'Yuk Nabung Saham' menjadi bagian dari gerakan tersebut.
Apakah efektif?
Jika ditanya apakah sosialisasi investasi saham berdampak pada pertumbuhan jumlah investor, tentu ada.
Namun, jumlah investor di pasar modal sayangnya masih rendah. Melansir publikasi Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), berdasarkan Single Investor Identification (SID), nomor identitas yang dipunyai investor, per akhir 2018 terdapat 1,62 juta investor di pasar modal Indonesia (termasuk saham, reksa dana, obligasi, dan pemegang warkat).
Memang, jika dibandingkan dengan angka tahun 2017, ada peningkatan sebesar 44,6%. Namun, jumlah investor di pasar modal Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai lebih dari 250 juta. Rasionya baru 0,65% dari jumlah penduduk.
Sebagai perbandingan, mengutip data Bursa Malaysia, investor di pasar modal Negeri Jiran per akhir 2017 sudah mencapai 2,49 juta.
Beralih ke Thailand, mengutip data dari Stock Exchange of Thailand, jumlah investor pasar modal per September 2018 adalah sebanyak 1,62 juta.
Padahal, jumlah penduduk Malaysia dan Thailand jauh di bawah Indonesia. Jumlah penduduk Malaysia saat ini berkisar di angka 30 juta dan jumlah penduduk Thailand saat ini berkisar di angka 69 juta. Artinya rasio investor pasar modal di Malaysia 8,3% dan Thailand 2,34%.
Lantas, apa yang menjadi sebab dari rendahnya jumlah investor di pasar modal Indonesia?
Hal ini menarik untuk dievaluasi menjelang setahun kepemimpinan Inarno Djajadi sebagai Direktur Utama BEI.
Bisa jadi, kalau dari sisi pasar saham, pergerakan harga saham di Indonesia yang sering kali liar membuat milenial enggan mencicipi potensi cuan di pasar saham.
Saat ini, BEI mengadopsi batasan auto rejection yang dibagi menjadi tiga kelompok. Sebagai informasi, batasan auto rejection merupakan batas yang mengatur sejauh mana suatu saham bisa bergerak naik maupun turun dalam satu hari.
Berikut batasan auto rejection teranyar yang ditetapkan oleh BEI melalui Surat Keputusan Direksi BEI Kep-00096/BEI/08-2015 tentang Perubahan Batasan Auto Rejection:
• Saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200: batasan auto rejection 35% (naik & turun)
• Saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000: batasan auto rejection 25% (naik & turun)
• Saham dengan Rp 5.000 ke atas: batasan auto rejection 20% (naik & turun)
Sementara itu, untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan (hari pertama listing di BEI) di pasar sekunder, batasan auto rejection yang berlaku adalah dua kali lipatnya yakni 70% untuk rentang harga Rp 50-Rp 200, 50% untuk rentang harga Rp 200-Rp 5.000, dan 40% untuk saham dengan harga di atas Rp 5.000.
Di Indonesia, saham yang baru pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder biasanya akan langsung melejit menyentuh batas atas auto rejection.
PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) misalnya. Melenggang di lantai bursa pada tanggal 17 Juni 2019, harga saham emiten pemilik klub sepak bola Bali United tersebut langsung melesat 69,14% ke level Rp 296/saham, dari harga pada saat penawaran perdana yang sebesar Rp 175/saham. Sehari setelahnya (18/6/2019), harga saham BOLA melejit 25% atau kembali menyentuh batas atas auto rejection.
Bagaimana dengan di negara lain?
Sejatinya, negara-negara lain juga menerapkan aturan serupa dengan auto rejection, namun dengan nama yang berbeda. Di Amerika Serikat (AS) yang pasar sahamnya memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia, istilah yang digunakan adalah 'Limit Up-Limit Down Rule'.
Dari tabel di atas, bisa dilihat bahwa AS menerapkan rentang batas atas dan batas bawah yang juga lebar seperti Indonesia.
Bahkan untuk saham-saham yang harganya di bawah US$ 0,75/unit, pergerakan di hari-hari biasa (bukan hari perdagangan pertama di pasar sekunder) bisa mencapai 75%.
Kini, mari melihat pasar saham negara-negara tetangga.
Di Thailand, harga saham bisa berfluktuasi dalam rentang hingga 30% jika dibandingkan dengan posisi harga pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Untuk saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder, batas atas dan batas bawahnya dibuat berbeda. Saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder bisa mencetak kenaikan harga hingga 200% (3 kali lipat). Untuk batas bawahnya, metode perhitungan yang digunakan adalah 0,01 dikalikan dengan harga saat penawaran di pasar primer.
Sebagai contoh, jika harga penawaran di pasar primer adalah 5 baht, maka saat pertama kali saham tersebut ditransaksikan di pasar sekunder harganya tak bisa turun hingga di bawah 0,05 baht (0,01x5).
Beralih ke Malaysia, saham dengan harga di atas 1 ringgit/unit bisa naik atau turun hingga 30%. Untuk saham dengan harga di bawah 1 ringgit/unit, harga bisa naik atau turun hingga 30 sen. Sebagai catatan, harga saham yang tercatat di Bursa Malaysia tak bisa lebih rendah dari 0,5 sen.
Untuk saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder dan harga penawaran di pasar primer lebih tinggi dari 1 ringgit/unit, kenaikan harga dibatasi hingga 400% (5 kali lipat) dan penurunan harga dibatasi sebesar 30%.
Untuk saham yang memiliki harga penawaran di bawah 1 ringgit/unit, batas atas dari kenaikan harga adalah 400% atau 30 sen (dipilih yang paling tinggi), sementara batas maksimum dari penurunan harga adalah 30 sen.
Sebenarnya, kalau melihat contoh dari negara maju seperti AS dan negara-negara tetangga Indonesia seperti Thailand dan Malaysia, batasan auto rejection yang ditetapkan oleh BEI tak bisa dibilang kelewat lebar.
Namun, tentu permasalahan yang dihadapi oleh setiap negara dalam menjaring investor muda berbeda-beda.
Khusus untuk di Indonesia, dengan mencermati jumlah investor pasar modal yang masih terbilang sangat-sangat kecil, rasanya memang regulasi mengenai batasan auto rejection, baik untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan maupun saham yang sebelumnya sudah tercatat, harus segera diubah.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Yuk Nabung Saham (YNS) adalah kampanye untuk mengajak masyarakat sebagai calon investor untuk berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham secara rutin dan berkala. Gerakan yang diluncurkan pertama kali pada 15 November 2015 ini ditujukan untuk menggaet para investor milenial (usia 23-38 tahun) yang selama ini belum mengerti pentingnya berinvestasi sejak usia muda. Peluncuran buku hingga penyelenggaraan kompetisi 'Yuk Nabung Saham' menjadi bagian dari gerakan tersebut.
Apakah efektif?
Namun, jumlah investor di pasar modal sayangnya masih rendah. Melansir publikasi Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), berdasarkan Single Investor Identification (SID), nomor identitas yang dipunyai investor, per akhir 2018 terdapat 1,62 juta investor di pasar modal Indonesia (termasuk saham, reksa dana, obligasi, dan pemegang warkat).
Memang, jika dibandingkan dengan angka tahun 2017, ada peningkatan sebesar 44,6%. Namun, jumlah investor di pasar modal Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai lebih dari 250 juta. Rasionya baru 0,65% dari jumlah penduduk.
Sebagai perbandingan, mengutip data Bursa Malaysia, investor di pasar modal Negeri Jiran per akhir 2017 sudah mencapai 2,49 juta.
Beralih ke Thailand, mengutip data dari Stock Exchange of Thailand, jumlah investor pasar modal per September 2018 adalah sebanyak 1,62 juta.
Padahal, jumlah penduduk Malaysia dan Thailand jauh di bawah Indonesia. Jumlah penduduk Malaysia saat ini berkisar di angka 30 juta dan jumlah penduduk Thailand saat ini berkisar di angka 69 juta. Artinya rasio investor pasar modal di Malaysia 8,3% dan Thailand 2,34%.
Lantas, apa yang menjadi sebab dari rendahnya jumlah investor di pasar modal Indonesia?
Hal ini menarik untuk dievaluasi menjelang setahun kepemimpinan Inarno Djajadi sebagai Direktur Utama BEI.
Bisa jadi, kalau dari sisi pasar saham, pergerakan harga saham di Indonesia yang sering kali liar membuat milenial enggan mencicipi potensi cuan di pasar saham.
Saat ini, BEI mengadopsi batasan auto rejection yang dibagi menjadi tiga kelompok. Sebagai informasi, batasan auto rejection merupakan batas yang mengatur sejauh mana suatu saham bisa bergerak naik maupun turun dalam satu hari.
Berikut batasan auto rejection teranyar yang ditetapkan oleh BEI melalui Surat Keputusan Direksi BEI Kep-00096/BEI/08-2015 tentang Perubahan Batasan Auto Rejection:
• Saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200: batasan auto rejection 35% (naik & turun)
• Saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000: batasan auto rejection 25% (naik & turun)
• Saham dengan Rp 5.000 ke atas: batasan auto rejection 20% (naik & turun)
Sementara itu, untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan (hari pertama listing di BEI) di pasar sekunder, batasan auto rejection yang berlaku adalah dua kali lipatnya yakni 70% untuk rentang harga Rp 50-Rp 200, 50% untuk rentang harga Rp 200-Rp 5.000, dan 40% untuk saham dengan harga di atas Rp 5.000.
Di Indonesia, saham yang baru pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder biasanya akan langsung melejit menyentuh batas atas auto rejection.
PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) misalnya. Melenggang di lantai bursa pada tanggal 17 Juni 2019, harga saham emiten pemilik klub sepak bola Bali United tersebut langsung melesat 69,14% ke level Rp 296/saham, dari harga pada saat penawaran perdana yang sebesar Rp 175/saham. Sehari setelahnya (18/6/2019), harga saham BOLA melejit 25% atau kembali menyentuh batas atas auto rejection.
Bagaimana dengan di negara lain?
Sejatinya, negara-negara lain juga menerapkan aturan serupa dengan auto rejection, namun dengan nama yang berbeda. Di Amerika Serikat (AS) yang pasar sahamnya memiliki kapitalisasi pasar terbesar di dunia, istilah yang digunakan adalah 'Limit Up-Limit Down Rule'.
Dari tabel di atas, bisa dilihat bahwa AS menerapkan rentang batas atas dan batas bawah yang juga lebar seperti Indonesia.
Bahkan untuk saham-saham yang harganya di bawah US$ 0,75/unit, pergerakan di hari-hari biasa (bukan hari perdagangan pertama di pasar sekunder) bisa mencapai 75%.
Kini, mari melihat pasar saham negara-negara tetangga.
Di Thailand, harga saham bisa berfluktuasi dalam rentang hingga 30% jika dibandingkan dengan posisi harga pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Untuk saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder, batas atas dan batas bawahnya dibuat berbeda. Saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder bisa mencetak kenaikan harga hingga 200% (3 kali lipat). Untuk batas bawahnya, metode perhitungan yang digunakan adalah 0,01 dikalikan dengan harga saat penawaran di pasar primer.
Sebagai contoh, jika harga penawaran di pasar primer adalah 5 baht, maka saat pertama kali saham tersebut ditransaksikan di pasar sekunder harganya tak bisa turun hingga di bawah 0,05 baht (0,01x5).
Beralih ke Malaysia, saham dengan harga di atas 1 ringgit/unit bisa naik atau turun hingga 30%. Untuk saham dengan harga di bawah 1 ringgit/unit, harga bisa naik atau turun hingga 30 sen. Sebagai catatan, harga saham yang tercatat di Bursa Malaysia tak bisa lebih rendah dari 0,5 sen.
Untuk saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder dan harga penawaran di pasar primer lebih tinggi dari 1 ringgit/unit, kenaikan harga dibatasi hingga 400% (5 kali lipat) dan penurunan harga dibatasi sebesar 30%.
Untuk saham yang memiliki harga penawaran di bawah 1 ringgit/unit, batas atas dari kenaikan harga adalah 400% atau 30 sen (dipilih yang paling tinggi), sementara batas maksimum dari penurunan harga adalah 30 sen.
Sebenarnya, kalau melihat contoh dari negara maju seperti AS dan negara-negara tetangga Indonesia seperti Thailand dan Malaysia, batasan auto rejection yang ditetapkan oleh BEI tak bisa dibilang kelewat lebar.
Namun, tentu permasalahan yang dihadapi oleh setiap negara dalam menjaring investor muda berbeda-beda.
Khusus untuk di Indonesia, dengan mencermati jumlah investor pasar modal yang masih terbilang sangat-sangat kecil, rasanya memang regulasi mengenai batasan auto rejection, baik untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan maupun saham yang sebelumnya sudah tercatat, harus segera diubah.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Next Page
Sudah Lama Disuarakan
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular