Utang Menggunung Rp 16 T, Kok Bakrie Telecom Belum Pailit?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
25 June 2019 12:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu anak usaha Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) patut dipertanyakan status kelangsungan bisnisnya (going-concern). Pasalnya perlahan tapi pasti, tingkat utang perusahaan merangkak naik dan kurang dari satu dekade sudah tumbuh lebih dari dua kali lipat.
Dari grafik di atas terlihat bahwa total utang perusahaan yang di tahun 2009 hanya sebesar Rp 6,39 triliun, di akhir tahun lalu melesat menjadi Rp 16,13 triliun. Terlebih lagi, sebagian besar (Rp 10,1 triliun) berasal dari utang jangka pendek yang harus dilunasi dalam jangka waktu satu tahun.
Pada dasarnya, utang yang tinggi untuk membiayai aktifitas bisnis perusahaan tidaklah salah. Permasalahan timbul jika potensi gagal bayar utang semakin tinggi.
Hal itu sudah terindikasi dari posisi neraca BTEL. Pasalnya, dengan total utang mencapai Rp 16,13 triliun di tahun 2018, total aset yang dimiliki perusahaan hanya Rp 713,51 miliar.
Bagaimana perusahaan mampu melunasi utangnya jika total aset hanya setara 4,42% dari total utang?
Kondisi nilai utang yang lebih besar dari nilai aset tidak hanya dicatatkan tahun lalu, tapi situasi ini sudah tercatat sejak tahun 2013.
Mengapa hingga detik ini belum ada putusan pailit dari pengadilan? Bahkan Bursa Efek Indonesia hanya menghentikan perdagangan sementara emiten BTEL
Berdasar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, syarat dinyatakan pailit adalah
"Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya,"
Dengan utang yang menggunung dan nilai aset yang kecil, potensi gagal bayar pasti mencuat. Namun perusahaan melakukan manuver melalui restrukturisasi utang dengan mendistribusikan obligasi wajib konversi.
Tapi langkah ini sejatinya seperti gali lubang untuk menutup lubang, pasalnya langkah restrukturisasi tidak didukung dengan peningkatan kinerja keuangan.
Berdasarkan grafik di atas, total pemasukan perusahaan terus tumbuh negatif, dimana akhir tahun 2018 hanya mencapai Rp 3,81 miliar. Melemahnya arus pendapatan BTEL otomatis menekan kinerja laba bersih perusahaan.
Terhitung sejak tahun 2011 perusahaan selalu mencatatkan kerugian dengan total rugi tahun lalu mencapai Rp 720,57 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Rombak Pengurus, Bakrie Telecom "Depak" Anindya
Dari grafik di atas terlihat bahwa total utang perusahaan yang di tahun 2009 hanya sebesar Rp 6,39 triliun, di akhir tahun lalu melesat menjadi Rp 16,13 triliun. Terlebih lagi, sebagian besar (Rp 10,1 triliun) berasal dari utang jangka pendek yang harus dilunasi dalam jangka waktu satu tahun.
Hal itu sudah terindikasi dari posisi neraca BTEL. Pasalnya, dengan total utang mencapai Rp 16,13 triliun di tahun 2018, total aset yang dimiliki perusahaan hanya Rp 713,51 miliar.
Bagaimana perusahaan mampu melunasi utangnya jika total aset hanya setara 4,42% dari total utang?
Kondisi nilai utang yang lebih besar dari nilai aset tidak hanya dicatatkan tahun lalu, tapi situasi ini sudah tercatat sejak tahun 2013.
Mengapa hingga detik ini belum ada putusan pailit dari pengadilan? Bahkan Bursa Efek Indonesia hanya menghentikan perdagangan sementara emiten BTEL
Berdasar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, syarat dinyatakan pailit adalah
"Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya,"
Dengan utang yang menggunung dan nilai aset yang kecil, potensi gagal bayar pasti mencuat. Namun perusahaan melakukan manuver melalui restrukturisasi utang dengan mendistribusikan obligasi wajib konversi.
Tapi langkah ini sejatinya seperti gali lubang untuk menutup lubang, pasalnya langkah restrukturisasi tidak didukung dengan peningkatan kinerja keuangan.
Berdasarkan grafik di atas, total pemasukan perusahaan terus tumbuh negatif, dimana akhir tahun 2018 hanya mencapai Rp 3,81 miliar. Melemahnya arus pendapatan BTEL otomatis menekan kinerja laba bersih perusahaan.
Terhitung sejak tahun 2011 perusahaan selalu mencatatkan kerugian dengan total rugi tahun lalu mencapai Rp 720,57 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Rombak Pengurus, Bakrie Telecom "Depak" Anindya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular